Laman

Jumat, 10 Februari 2012

Adiparwa Bagian XVII



“Tuanku ! baiklah cerita itu diteruskan ! apakah yang diperbuat oleh leluhur saya, sesudah menetap di Indraprastha. Teruskanlah cerita tuanku”
Demikian kata meharaja Janamejaya, sang Waisampayana menjawab, (katanya) : “Alihkan perhatianmu !”. kedudukan maharaja Yudhisthira sudah enak (dunia pun tentram), merasa senang karena semua mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Beberapa lamanya menjadi raja itu, Bathara Narada datang, yaitu seorang Wiku (dewa) dari surga, siap dengan bunyi-bunyian tujuh suara, nyanyian dan tarian, lagi pula empat macam weda tidak karuan keluarnya dari mulut.
Maharaja Yudisthira menghormat kedatangan sang resi itu, menyambut dengan air pencuci kaki dan kumur sebagai tanda penghargaan, menyerahkan tempat duduk raja dan menanyakan maksud kedatangannya.
Maka seru bagawan Narada : “Maharaja Yudhisthira, maksudku datang kepadamu sekarang ini, mewartakan kabar gembira. Hal memperistri sang Dropadi ini, janganlah kurang berhati-hati. Ada dua daitya bersaudara namanya si Sunda dan Upasunda. Keduanya sangat berkasih-kasihan, tidak makan kalau tidak berdua.
Ekasilasamasarau. Selalu satu pendiriannya. Keduannya bermaksud akan menaklukkan 3 benua, maka bertapalah di puncak gunung Windhya, berjanggut dengan berpakaian kulit kayu, tidak makan, tidak minum dan tidak pula tidur.
Atmamamsani homantau. Yang dikorbankan daging mereka berdua, dipotong-potong sekerat demi sekerat disajikan kepada sang hyang Agni. Mereka berdiri pada sebuah kaki, yang ditapakkan ibu jari kaki kirinya. Mereka selalu memuja (?) kepada sang hyang Aditya dengan cara selalu berpanasan (pada terik matahari). Mereka bertapa sampai lama. Para dewa rebut mencari akal, supaya tapanya urung. Ada seorang putri buatan yang diciptakan oleh dewa, tingkahnya bermacam-macam. Membawa emas dan manikam dan segala macam barang yang berharga dan berbuat lain lagi yang meruntuhkan nafsu daitya itu. Tetapi tetaplah hati kedua daitya itu, tidak dapat diganggunya. Karena marahnya, diangkatnya gadanya akan dipergunakan sebagai pemukul putri maya itu. Putri itupun lari ketakutan oleh prabawa mereka. Sesudah putri itu pergi mereka berdua merasa enak bersemadi. Disanalah bathara Brahma datang, menyerukan supaya dua orang daitya itu minta anugrah (kepadanya). Maka kata mereka berdua : “bathara ! kami merasa bergembira karena akan mendapat hadiah kalau diperkenankan lingkungan tribuana akan kami kuasai berdua. Tiadalah seorangpun di dunia yang berani melawan kami, tiada sesuatu makhlukpun yang membahayakan. Agranye ca pitamanah selain kami berdua”
Demikian katanya, sang bathara Brahma memperkenankan. Sesudah mendapat anugrah itu, daitya menyembahnya. Surga lalu diserbunya, tiada satu dewapun dapat menahannya. Demikianlah dunia dikuasainya.
Pranastanrpatidwija. Tiada terdapat lagi rajanya, tiada pula terdapat Brahmananya (yang ada) hanya ketakutan oleh dua orang daitya itu. Lenyaplah empat buah asrama, tiada pula ada mantra, mantra penglebur dan korban api.
Para dewa bersedih hati, lalu menghadap bathara Brahma, berundinglah semuanya minta anugrah, yaitu kematian dua orang raksasa itu. Maka kata bathara Brahma kepada sang Waiswakarma : “Sriyatam prarthaniyaika pramadeti mahatapah !”
Anakku sang Wiswakarma. Ciptalah putri yang molek parasnya, yang (kiranya) akan dikehendaki oleh dua orang daitya itu. Itulah yang akan menyebabkan patinya.
Demikian kata sang hyang Brahma. Sang Wiswakarmapun mengerjakan dengan hati-hati, diambilnya ratna yang bagus, terdiri dari seratus biji wijen, dikumpulkan akhirnya menjadi seorang putri jelita diberinya nama Tilottama Tilam-tilam samaniya. Karena dibuat dari biji satila (wijen) dahulu. Lalu ia menyembah kepada bathara Brahma (sang hyang Rudra menghadap juga kepada bathara Brahma) tertawan oleh molek jelitanya, maka dibuatnya muka 4 (empat) buah, utara, selatan, barat, dan timur, supaya tidak susah menolehnya melihat sang Tilottama yang sedang menyembah itu. Demikian pula sang hyang Indra pandangan matanya tidak memberi kepuasan, lalu dibuatnya mata seribu buah, tiada juga kenyang memandangnya, demikian pula para dewa semua, hanya sang Tilottamalah yang menjadi sasaran matanya.
Tetapi sang hyang Brahma tidak ikut tertarik. Sesudah menyembah sang Tilottama pergi ketempat dua orang daitya, yang (pada waktu itu) sedang berpesta, berada di puncak gunung Windhya. Dijanjikan (ditarikan) disertai bunyi-bunyian oleh para raja, segala macam hidangan sudah dimakannya.
Di didekat tempat pesta itu ada sebuah taman, sangat merindukan indahnya, penuh dengan segala macam bunga-bungaan, dilindungi oleh sungai yang jernih airnya dan suci pula. Di sanalah pura-pura sang Tilottama memetik bunga. Maka dua orang daitya tadi sudah mabuk karena minuman, kemudian berdiri lalu ke taman, dilihatnya sang Tilottama yang elok parasnya itu sedang memetik bunga. Tiada seorang putri jelitapun memadai jelitanya, lagi pula segala tingkah lakunya sangat susila. Di situlah dua orang daitya terkena panah asmara, sangat meluap tidak dapat ditahannya. Daitya Sunda maju tangan kanan sang Tilottama dipegangnya. Sedang sang Upasunda tangan kiri sang Tilottama yang dipegangnya. Maka kata kakaknya (sang Sunda) : “Adikku Upasunda ! jangan engkau campur tangan atas putri ini, ini istriku. Anggaplah istri kakaknya itu sebagai guru”. Kata sang Upasunda : “Kaka sang Sunda ! jangan engkau campur tangan terhadap putri ini. Ini istriku, anggaplah ia sebagai istri adiknya !”
(Demikian katanya saling membentak. Tiada yang mau melepaskan sang Tilottama, keduanya menginginkannya. Makin besar kemarahan mereka, semua lupa saling kasihnya sebagai saudara. Lagi pula sudah kemasukan (mabuk) oleh minuman keras, tidak mengenal lagi dharma dan perbuatan baik. Keduanya mengangkat gada, tangan sang Tilottama dilepaskannya. Kedua saudara itu pukul-memukul, saling menggunakan kesempatan, sama-sama besar prabawanya. Akhirnya saling memukul, jatuh bersama-sama, badannya berlumuran darah. Keduanya mati bersama-sama bangkainya terlentang di tanah.
Para golongan tentera daitya lari ke bumi, takut kalau diserang para dewa. Sesudah daitya Sunda dan Upasunda mati, sang Tilottama pulang ketempat bathara Indra menceritakan keadaan daitya itu. Maka sang Tilottama lalu mendapat anugrah bertempat tinggal di Surga mendapat kesenangan selaku bidadari. Itulah mati karena memperebutkan putri, jangan dicontoh. Jangan sampai Maharaja demikian. Adapun perjanjian Maharaja dengan sanak saudara Maharaja :
Draupadyanah sahasinan anyo’nam yo’ bhidarcayet. Kalau ada salah seorang datang menyusul saudaranya ketika sedang berada dengan sang Dropadi, hendaknya lalu tinggal di hutan, menjalankan tapa Brahmacari (tidak beristri) selama 12 tahun. Demikian perjanjian yang hendaknya maharaja dan sanak saudara lakukan, supaya selalu satu, agar menghasilkan ketentraman maharaja (serta sanak saudara). Demikian kata Begawan Narada, sang Pandawa mengikuti perintah itu. Bagawan Narada lalu lenyap dari tempatnya.
Ada seorang brahmana bertempat tinggal di daerah Indraprastha. Ia kehilangan lembu. Maka ia menangis di Istana tempat orang-orang menghadap raja, dengan maksud akan mengadukan kepada maharaja Yudhistira, bahwa ada pencuri di daerahnya. Terdengarlah oleh sang Arjuna orang menangis itu, lalu disuruhnya ; menenangkan pikirannya. Sang Arjuna masuk ke tempat maharaja Yudhistira ketika sedang berada dengan sang Dropadi. Maksud sang Arjuna akan mengambil senjatanya untuk mengejar pencuri. Busur dan panah diambilnya. Ia lalu ingat akan perjanjiannya dengan sang Narada, tetapi ia memilih berdiam di hutan supaya dapat menyelesaikan perkara sang Brahmana tadi.
Sesudah panah diambilnya, pencuri diikutinya, ia tertangkap terus dibunuhnya. Lembunya masih utuh tidak cacat sedikitpun dan terus diberikan kepada Brahmana (yang empunya). Sang Brahmana pun senang hatinya.
Sekarang sang Arjuna minta diberi kepada maharaja Yudhistira, bahwa ia akan tinggal di hutan, tetapi maharaja Yudhistira melarang, karena ingat akan kesedihan berpisah. Sang Arjuna tidak mengindahkan larangan kakaknya, takut berdusta (mungkir janji). Akhirnya diijinkan, karena menepati janji sang resi itu. Maka pergilah ia. Beraneka macam asrama sudah didatanginya sampai pada pintu sungai Gangga. Mata air sungai Gangga itu di gunung Himawan. Sang Arjunapun berjiarah kesana membuat korban api, membuat pula korban api memuja sang hyang Aditya. Seorang putri naga menghampirinya ; lalu ditegurnya :
ka ca twam ksaya catmaja ? Siapakah putri molek yang menghampiri saya ini. Siapakah orang tuamu ? katakanlah apa maksudmu”. Demikian kata sang Arjuna. Putri naga itu menjawab : “Airawatakulotpannah. Ada raja naga putra sang Airawata, namanya Korawya. Dialah yang mempunyai anak saya. (kedatangan saya ini) hanya akan melihat kebagusanmu. Itulah sebabnya saya kemari. Karena itu Arjuna, baiklah engkau kawin Ulupuy ini ! janganlah sampai diabaikan baktinya kepadamu !”
Demikian sang Ulupuy. Sang Arjuna menjawab :
“sangatlah kasihan akan molekmu. Hai putri naga. Mestinya baik saya peristri, tetapi apa boleh buat, maksud saya tinggal di hutan ini manjalankan tapa Brahmacari. Itulah perjanjian saya dengan sanak saudara. Saya pantang mungkir akan janji saya”.
“suami sang Dhananjaya ! saya tahu akan sebabmu lalu tinggal di hutan ini, yaitu karena datang ke tempat maharaja Yudhistira ketika sedang berada dengan sang Dropadi. Benarlah engkau menjalankan Brahmacari. Tetapi bukanlah kebrahmacarian itu dengan sang Dropadi saja, tidak selayaknya berkasih-kasihan dengan engkau istri lain tidak ada salahnya”.
Demikian kata putri naga itu. Sang Arjunapun lalu bersedia. Lalu bercumbu-cumbuan dengan sang Ulupuy semalam. Pada pagi harinya sang Arjuna pulang ke tepi sungai Gangga.
Disambutnya ia oleh para resi. Ia menceritakan tentang kepergiannya ke patala. Lalu ia langsungkan penghadiahan berupa lembu (dan pemberian emas) serta bermacam-macam lagi perbuatan baik yang dilakukannya, yaitu memberikan dana kepada para Brahmana. Kemudian dikabarkan orang, bahwa ia pergi ke timur, sampai pada asrama-asrama yang sempurna, yaitu di hutan Naimisa, Kosikinadi, Gangga Kalinggadesa, semua didatangi satu demi satu olehnya. Ia memberi dana dan (selalu) menjalankan perbuatan baik juga. Ia selalu dijaga oleh Brahmana yang selalu mengikuti kemana perginya, sampai di laut sebelah timur, lalu berjalan ke selatan, makin jauh perginya, sampai di daerah Manayuradesa, di segala tempat perziarahan, di asrama, dibuatnya korban api dan pemberian dana. Seorang raja bernama Citradahana, yaitu raja di daerah Manayuradesa. Berputra seorang putri namanya Citragandha, sangat moleknya. Kebetulan dilihat oleh sang Arjuna akan putri cantik itu maka ia menginginkannya lalu minta kepada maharaja Citradahana. Putri raja itu dimintanya kemudian dijawab maharaja Citradahana :
“Hai Partha, sang Dhananjaya. Dengarlah ceritaku ! ada seorang raja brahmana namanya Prabhakara, raja di daerah Manyura, yaitu leluhur saya. Ia tidak punya keturunan, karenanya bersusah hati. Lalu bertapa memuja bathara Sangkara. Ia bertapa baik-baik, bathara Rudra turun menganugerahinya, seorang putra sampai pada sanak saudaranya (karena itu) aku beranak seorang putri ; yaitu namanya Citragandha yang engkau pinta dariku sekarang ini.
Adapun perjanjianku, kalau beranak seorang laki-laki, pergunakanlah sebagai pembeli seorang putrid yang suci (gadis), (seakan-akan aku beranak seorang raja putra), itulah kalau engkau beranak laki-laki.
Demikian kata maharaja Citradahana. Sang Arjuna pun bersedia dan memberi kesanggupan sang Citragadha akan berputera laki-laki. Kemudian dipertemukannya (dikawinkan).
Ia dan Citragadha berkasih-kasihan, tiga tahun lamanya berada di sana. Kemudian pergi ke laut Daksina (selatan), dilihatnya tempat pemandian yang suci sebanyak lima buah, tidak dikunjungi oleh para resi.
Sang Arjuna bertanya kepada pertapa, apa sebabnya  tak ada yang mandi di pemandian itu. Dikatakan bahwa ada bahaya besar di pemandian itu, karena terdapat di dalamnya buaya yang ganas. Adapun nama pemandian itu :Sobhadra; Poloma, Karandhama, Supawana,, Pramana, ditempati oleh lima ekor buaya. Demikianlah kata sang maharesi.
Sang Arjuna turun mandi di pemandian Sobhadra, lalu datanglah buaya buas itu seperti akan menggigit. Disergapnya buaya itu dilemparkan dari tempatnya.
Tak lama kemudian terjelmalah bidadari yang cantik jelita, badannya bercahaya kena sinar perhiasan manikam, maka katanya :
Hai Sang Partha Dhananjaya. Saya ini bidadari dari surga, nama saya Sarwada. Saya pengawal Sang Hyang Waesrahwana. Masih ada bidadari teman saya 4 orang namanya Sang Sorabheyi, Sang Srmi, sang Wudwuda, Sang Sitala.
Itulah teman-teman saya bermain di hutan Lokapala. Saya lihat wiku (pendeta) yang sedang bertapa, bersinar sinar Aditya, sinarnya memancar ke seluruh penjuru. Dia kami ganggu tapanya.
Karena marahnya dihambat tapanya, kami dikutuknya menjadi binatang buas “Grahabhuta twam”. Itulah sebabnya kami menjadi buaya. Kami minta berakhirnya kutuk itu, katanya :
“Kalau ada orang yang dapat mengeluarkan dari air tempatmu, engkau akan kembali menjadi bidadari”.
Demikian kutuknya kepada kami. Lalu kami pergi mencari tempat pemandian yang bagus. Tiba-tiba berjumpa dengan Begawan Narada. Ia menyuruh kami supaya berdiam di lima buah pemandian. Ada orang yang namanya Arjuna yang kelak akan mengeluarkan engkau dari air. Itulah anugrah Begawan Narada kepada saya. Sekarang engkau sudah datang melemparkan saya dari dalam air, karenanya saya kembali menjadi bidadari. Kasihanilah kami, teruskanlah anugrahmu kepada saya. Baiklah, kiranya kalau 4 orang saudara saya engkau keluarkan juga dari telaga itu. Demikianlah permintaan sang Sarwada dengan kasihnya kepada Arjuna. Buaya empat ekor (lainnya) itupun dikeluarkan dari air. Dan lalu kembali berupa bidadari seperti sediakala. Kemudian minta diri kepada sang Arjuna. Pergilah mereka melalui angkasa. Pemandian itu lalu disucikan oleh sang Arjuna dan dipergunakan tempat mandi para maharsi.
Sang Arjuna pulang ke dareah Manayura, berkasih-kasihan dengan sang Citragandha, berputra seorang laki-laki bagus parasnya diberi nama Wabhruwahana. Kemudian pergi ke Gokarna, sebuah gunung suci di tepi laut Daksina. Dari gunung Gokarna pergi ke barat. Segala macam asrama didatanginya, sampai pada pemandian Prabhasa, asal sungai Saraswati. Itu pemandian suci orang-orang Dwarawati. Sang Krsna mendengar bahwa Arjuna berada di sana, lalu memanggil sang Dhananjaya itu. Bersenanglah mereka berdua karena bersatu budi. Lalu keduanya pergi ke gunung Raitawaka, yaitu gunung di Dwarawati. Di sanalah mereka berdua menikmati keindahan segala macam bunga. Gunung Raiwataka sudah dilaluinya, sampai Dwarawati. Dijemputnya oleh golongan Yadu, dijamunya dengan makanan dan lain-lainnya. Mereka sudah selesai bertemu-temuan.
Beberapa lamanya ada di Dwarawati, pada suatu hari ada pesta untuk para golongan keluarga Yadu, yaitu di Raiwatakagiri (gunung Raiwataka). Gunung itu dihias, penuh dengan kubu-kubu (kemah-kemah ?). di dalam pesta itu dipertunjukkan tari-tarian oleh para penari wanita dan pria. Maharaja Ugrasena, yaitu raja di negeri Dwarawati datang ketempat itu diiringkan oleh semua keluarga Yadu. Sang Baladewapun turut bersama-sama dengan istrinya yang bernama Raiwati. Kemudian sang Samba, Pradyumna, sang Gada, sang Nisatha, sang Ulmuka, sang Wadesa, sang Prthu, itulah yang menjadi pemukanya golongan Yadu, Wrsni dan Andhaka, semua turut ke gunung Raiwataka. Adapun sang Krsna bersama-sama dengan sang Arjuna, keduanya dengan mengendarai kereta. Sampai di gunung Raiwataka, mereka memuja dahulu, sebelum akan turut minum. Segala macam makananpun dinikmatinya, makanan yang enak-enak, madu, minuman dll. Maka terdengarlah suara gamelan dan bunyi-bunyian menambah keramaian.
Kemudian tampaklah penari (putri) yang menghidangkan tarian. Dalam suasana pesta yang meriah itu, kebetulan sang Subhadra, putri jelita adik sang Baladewa, berjalan-jalan dibatas gunung itu, diiringkan oleh seribu pengawalnya, diantar juga oleh sang Hiranya dan sang Sarana. Sang Arjuna tertarik, bernafsu melihat wajahnya. Lalu berkata kepada sang Krsna, katanya :
Duhita Basudewasya,
Putri ini namanya Subhadra, yaitu putri maharaja Basudewa, ia cantik jelita.
Kam iwaisa na mohayet ? siapakah yang tahan tidak mengajaknya ketempat tidur? Demikian kata sang Arjuna. Maka jawab sang Krsna : “benar katamu itu Arjuna. Tetapi sukar untuk memperolehnya. Namanya Subhadra, hanya dengan sayembara untuk memperistri dia. Kalau tidak demikian ya dilarikan. Kalau ada kesatriya sakti yang dapat mengambilnya, dan dapat menahan kesaktian keluarga Yadu, (kesatriya itu) menjadi suami sang Subhadra, sebagai pembeli kesaktian itu. Itulah caranya dia akan bersuami !
Demikian kata sang Krsna. Sang Arjuna gembira. Lalu minta ijin sang Krsna untuk melarikannya. Sang Subhadra diambilnya dipangku di dalam keretanya, lalu pergi sambil berseru.
Golongan Yadu mendengar seruan itu dan kabar diambilnya sang Subhadra oleh Arjuna itu, semua marah, semua memegang senjata, mengenakan baju besinya, sambil memutar-mutarkan goloknya. Ada yang naik kuda, ada yang gajah, ada pula yang naik kereta. Canangpun dibunyikan, tentara diperintahkan menangkap sang Arjuna.
Sang Baladewa berdiri, kailacacikharo pamah. Mukanya merah seperti puncak gunung Kailasa, merahnya karena marahnya, bukan karena minuman keras. Nilawasa. Pakaiannya hitam. Disambutnya senjata langgala (Nanggala = Djw). Dilihatnya sang Krsna berdiam diri saja, tidak ikut rebut-ribut tentang diambilnya Subhadra itu. Maka katanya :
“Hai Arya Krsna, apa sebabnya engkau berdiam saja di atas hinaan Arjuna? Bukankah engkau sudah dipujanya dan engkau juga saudaranya. Adikmu Subhadra engkau tawarkan. Bukankah itu hinaan, bagaikan Arjuna memukuli kepalamu saja. Demikianlah perbuatannya”.
Demikian kata sang Baladewa. Sang Krsna menjawab : “jangan engkau menganggap menghina kepada Arjuna. Ia sangat berbakti kepada kita semua. Kalau demikian apa (buruknya) mengambil adikku. Itulah perbuatannya, (karena) putri yang dibeli dengan emas dan manikam itu tak ada bedanya dengan ternak”..
Kahkuryat purarso bhuwi ?
Siapakah orang besar yang boleh dibeli putrinya? Itulah sebabnya diadakan sayembara oleh golongan kesatriya. (Di sini) belum ada sayembara. Tujuan sang Arjuna melakukan pelarian itu, untuk memperlihatkan kesaktiannya, kejarlah kalau dapat. Itulah yang saya ketahui, tiada seorangpun dapat melawan kesaktian Arjuna. Meskipun sang hyang Indra kiranya tak kuasa menahannya.
Engkau ini sudah mendapat kesaktian, sudah diketahui oleh seluruh dunia, tak ada bandingnya. Saya malu kalau sampai kalah dengan Arjuna.
Lebih baik diam saja, supaya tidak cacat kesaktianmu, ambillah sikap yang baik belaka. Sambutlah sang Arjuna, suruhlah ia kembali !! kawinkan saja dengan sang Subhadra, supaya erat persahabatan kami dengan Pandawa.
Demikian maksudku hanya berdiam diri itu. “demikian kata Krsna. Sri Baladewapun menurut. Disusulnya Arjuna disuruh kembali dan dilangsungkannya upacara perkawinan. Iapun pulang sampai di Dwarawati, ia dikawinkan dengan upacara yang sempurna. Selama satu tahun berada di sana, kemudian sampai waktu 12 tahun perjanjiannya ia tinggal di hutan, maka lalu minta diri kepada keluarga Yadu, dengan diiringkan sang Subhadra. Iapun diberi ijin. Kemudian pergi dengan berkereta. Tidak lama di dalam perjalanan, sampai di Indraprastha. Ia menyembah kepada maharaja Yudhistira, sesudah kepada dewi Kunthi terlebih dahulu. Sedang sang Subhadra disuruhnya menyembah kepada sang Dropadi. Semuanya gembiralah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar