Laman

Kamis, 31 Januari 2013

Makna sesajian setelah kelahiran dalam masyarakat Jawa di zaman modern



Prolog
            Kemodernan yang dangkal menenggelamkan makna-makna indah sesajian. Sesajian merupakan ungkapan doa kepada Tuhan seakan menjadi tidak berarti dan tidak penting. Manusia modern adalah manusia yang mengerti kemajuan zaman dengan tidak meninggalkan makna hidup manusia yang sejati. Dalam hal ini, modern sering diidentikkan dengan adanya degradasi pemaknaan yang sesungguhnya dalam masyarakat.
            Dalam tulisan ini, dipaparkan secara sederhana tentang pemaknaan sesaji setelah kelahiran sebab banyak orang sudah tidak melakukan sesajian untuk orang setelah kelahiran.

Mind Mapping
Filsafat budaya
Budaya muncul dari habit atau kebiasaan yg kemudian menjadi ritus
Habit -->  ritus --> budaya
Berasal dari cara berpikir manusia dan didasarkan pada cara hidup
Cara hidup inilah  yang membuat manusia selalu berpikir untuk bertindak sehingga memampukan membuat cara hidup yang baru

Tradisi setelah kelahiran
  1. Pemotongan Usus
Usus bayi dipotong dengan menggunakan welat (benda tajam, semacam pisau yang terbuat dari bambu wulung), dan dilandasi kunyit lalu darahnya diusapkan dibibir bayi, supaya bibirnya merah. Kemudian welat tersebut dirawat dan disimpan, maka dari itu sering ada istilah sedulur tunggal welat.
  1. Menanam ari – ari
Ari – ari ditempatkan didalam kendhil dan diberi alas daun talas, daun talas merupakan daun yang tidak menyerap air, ini merupakan symbol yang menyimpan harapan supaya kelak si anak tidak hanya memikirkan hal - hal duniawi saja. Sesajen yang lain adalah kembang boreh, minyak wangi, dan kunir yang dipakai untuk landasan. Didalam kendhil, selain ada ari – ari, juga diberi garam, benang, jarum, kinang, kemiri, tulisan arab, Jawa, atau huruf alphabet, hal itu mempunyai maksud agar kelak anak tersebut menguasai bahasa dengan baik. Kemudian kendhil dibungkus dengan lemper dan dibungkus kain mori. Ari – ari ada yang dilabuh, dan ada yang ditanam sendiri didepan rumah.
  1. Selamatan brokohan (berkah)
Selamatan brokohan (berkah / syukuran) diadakan bagi bayi yang telah lahir, dengan harapan supaya anak yang lahir hidupnya mendapat berkah, sesajennya antara lain :
1.      Telur mentah sebanyak hitungan harinya (menurut Jawa), maksudnya adalah meskipun bayi sudah lahir, tetapi ia telah menyatu dengan sang ibu.
2.      Dhawet dan gula jawa
3.      Nasi tumpeng dengan daging kerbau Satu
4.      Ayam bakar dengan sambal gudhangan dan sayur bayam
Selamatan brokohan ini juga bertujuan supaya ibu dan anak mendapat keselamatan penuh berkah dalam menjalani hidup.
  1. Puput puser (puputan)
Puputan adalah sisa usus yang menempel di pusar telah kering dan lepas atau jatuh. Bekas usus tersebut kemudian disimpan. Sesajennya adalah bubur merah, bubur baro – baro, jajan pasar. Pada malam harinya si anak diberi nama. Tujuan dari selametan ini adalah supaya kelak anak tersebut tidak mempunyai penyakit, terutama penyakit perut.
  1. Selamatan sepasaran (5 hari)
Sajiannya berupa nasi tumpeng dengan sayur mayur, bubur merah – putih yang merupakan representasi asal – usul manusia yang berasal dari ibu dan ayah, bubur baro – baro, iwel – iwel dan jajan pasar. Tujuan syukuran ini adalah agar anak tersebut terhindar dari gangguan metafisik (sawan).
  1. Selamatan selapanan (35 hari)
Sajiannya sama dengan selamatan sepasaran. Tujuan slametan ini adalah supaya anak tersebut selalu sehat.
  1. Selamatan tedhak siti (tedhak siten)
Dilakukan apabila anak telah berumur 7 lapan (245 hari). Sajiannya sama dengan selamatan selapanan dan sepasaran, sarananya adalah sebagai berikut :
1.      Jadah tetel yang diberi tujuh warna, yaitu merah, putih, hitam, kuning, biru, merah muda, dan ungu. Maksudnya supaya si anak mengetahui dan dapat mengatasi berbagai cobaan didunia. Jadah adalah makanan yang terbuat dari ketan, oleh karenanya jangan sampai anak raket kaliyan setan, dekatlah dengan Tuhan dengan jalan mujahadah.
2.      Padi dan kapas, merupakan lambang sandhang dan pangan, dengan harapan supaya kelak diberi murah rejeki.
3.      Tangga yang dibuat dari tebu Arjuna, tebu merupakan kepanjangan dari anteping kalbu. Hal itu mengandung harapan supaya anak tersebut tidak gumunan, hatinya mantap, tenang, hidupnya selalu bahagia, dan bersifat seperti arjuna yang sakti, berjiwa ksatria, dan berhati mulia.
4.      Bokor, berisi beras kuning dan macam – macam uang, dengan harapan supaya anak tersebut menjadi anak yang sukses dan hartanya melimpah.
5.      Kurungan ayam, berisi peralatan pekerjaan, dengan harapan supaya anak kelak menjadi seseorang yang tekun dan pekerja keras.

Tata cara pelaksanaan tedhak siten :
·         Si anak dituntun untuk menginjak jadah yang berwarna – warni
·         Anak tersebut dimasukkan ke dalam kurungan dan disuruh mengambil peralatan pekerjaan yang ada, yang diharapkan kelak menjadi lambang cita – cita atau bakat anak tersebut.
·         Beras kuning atau mata uang disebarkan supaya diambil oleh tamu / hadirin, dengan maksud supaya anak tersebut senang member serta menolong sesama dan dapat hidup bahagia serta mulia.
·         Anak tersebut dibawa masuk ke rumah dan didudukkan di atas tikar, kemudian bokor yang berisi beras kuning dan macam – macam uang didekatkan supaya diambil oleh anak tersebut.
Berbagai urutan upacara diatas mempunyai maksud semboyan atau makna, ‘sabda kinarya japa, nama kinarya tandha, wujude lambang isine piwulang’ yang artinya segala perkataan yang keluar dari bibir merupakan doa, nama merupakan pertanda, lambang berisi ajaran.
Lunturnya tradisi di zaman modern
Orang hanya ingin instan melakukan doa sehingga sesajian menjadi sesuatu yang merepotkan, padahal sesajian merupakan wujud persembahan atas hidup yang diberikan Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan pemaknaan pada sesajian luntur. Pemaknaan yang luntur berarti melunturkan arti dan tradisi yang menjadi budaya masyarakat.
Cara berpikir instan yang melunturkan budaya disebabkan oleh perubahan zaman yang cepat ini meruntuhkan cara berpikir tradisional masyarakat yang penuh dengan symbol sebagai ungkapan atas hidup. Dalam kemodernan saat ini sudah tidak ada symbol lagi.
Kelahiran merupakan anugerah kehidupan baru yang mempunyai banyak symbol. Symbol masyarakat tradisional atas kelahiran baru sebagai  ungkapan persembahan syukur yang akhirnya memampukan masyarakat tersebut untuk tumbuh dalam nilai etik dan budaya yang luhur. Berbeda dengan masyarakat modern, masyarakat modern mengalami degradasi nilai dan etik sebab tidak ada lagi cara berpikir yang mampu memahami arti syukur atas hidup. Dalam masyarakat modern yang muncul adalah pendidikan berdasar pada apa yang nampak nyata demi keuntungan (sikap utilitaris).
Perkembangan teknologi juga merupakan salah satu pemicu lunturnya tradisi di zaman modern ini, dimana teknologi yang semakin berkembang pesat tidak sejalan dengan kemajuan perkembangan psikologis masyarakat, sehingga tradisi yang ada di masyarakat semakin lama semakin tergeser.


Daftar Pustaka
Wiyasa Bratawidjaja, Thomas. 1988. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta :
Pustaka Sinar
Imam Sutardjo. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta : Jurusan Sastra Jawa FSSR
            UNS
Suwardi Endraswara. 2006. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme
            dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta : Narasi


(Tugas Individu Mata Kuliah Filsafat  Budaya)






Selasa, 22 Januari 2013

Jadul (Part II)















Vulgar, Slang, dan Kolokial


Pengertian Vulgar, Slang, dan Kolokial

Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya adalah pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan (Abdul Chaer, 1995: 87). Bagi kalangan yang kurang terpelajar agaknya dalam berbahasa cenderung langsung mengungkapkan maksudnya tanpa mempertimbangkan bentuk bahasanya. Oleh karena itu bahasa yang dipergunakan adalah bahasa dengan kata-kata kasar. Kosakata kasar itulah yang menjadi ciri Vulgar, seperti diungkapkan oleh Maryono Dwiraharjo (2001: 28).
Bagi kalangan yang terpelajar kosakata kasar cenderung dihindari karena dinilai tidak sopan. Di dalam masyarakat, golongan terpelajar memang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi sehingga ia harus menyesuaikan bahasa yang dipakai dengan kedudukannya itu. Bagi golongan yang kurang terpelajar kosakata kasar itu sudah terasa wajar karena sudah menjadi kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. Vulgar dengan demikian juga dapat diartikan sebagai tingkatan bahasa yang lebih rendah dari bahasa formal (bandingkan: Harimurti Kridalaksana, 2001: 96).
Slang berarti ucapan populer yang kita dengar sehari-hari di daerah tertentu (Mansoer Pateda, 1987: 55). Sebagai ucapan populer, maka Slang merupakan bahasa pergaulan di dalam kelompok tertentu yang terbatas, biasanya kaum remaja atau anak-anak muda. Slang digunakan dengan tujuan agar kelompok lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh kelompok yang bersangkutan. Oleh karena itu Slang bersifat khusus dan rahasia, pada kelompok terbatas. Bahasa prokem termasuk di dalam Slang (Maryono Dwiraharjo, 2001: 28). Dilihat dari bentuknya, Slang dapat digolongkan sebagai ragam bahasa tak resmi, berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah (Harimurti Kridalaksana, 2001: 200).
Slang yang berubah-ubah atau bersifat temporal (Abdul Chaer, 1995: 87-88) itu menyebabkan Slang biasanya tidak bertahan lama. Hal ini sesuai dengan sifatnya sebagai bahasa rahasia, yang hanya diketahui oleh kelompok sendiri. Begitu orang lain atau kelompok lain mengetahui kosakata yang digunakan, maka sifat kerahasiaan itu sudah memudar. Seiring memudarnya kerahasiaan, maka orang menghadapi dua pilihan, yakni (1) kembali kepada bahasa pergaulan biasa, atau (2) menciptakan kosakata dengan rahasia yang baru.
Slang berada di bawah pengaruh linguistik produktif dari sikap-sikap macam tertentu. Slang selalu digunakan sesuka penuturnya. Slank ini merupakan permainan sosial, dan terutama merupakan bahasa lisan (Basuki Suhardi, 1995: 164-168). Sebagai permainan sosial Slang merupakan hasil kreativitas kelompok-kelompok anak muda dalam masyarakat tertentu. Sebagai bahasa lisan, Slang tidak banyak diingat, meski oleh pemakainya sendiri, setelah bahasa itu tidak digunakan lagi.
Slang juga tidak meninggalkan dokumen tertulis karena ia “hanya” bahasa pergaulan untuk menunjukkan keakraban dan kesamaan “identitas” dalam kelompok, bukan untuk mengatakan maksud yang resmi.
Kolokial (colloquial) adalah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat yang tinggal di daerah tertentu. Kolokial biasa juga disebut sebagai bahasa sehari-hari, bahasa percakapan (Maryono Dwiraharjo, 2001: 28), dan kadang-kadang disebut bahasa pasar (Mansoer Pateda, 1987: 55).
Sebagai bahasa percakapan sehari-hari, maka Kolokial tergolong di dalam ragam lisan, bukan tulis (Abdul Chaer, 1995: 88). Di dalam ragam lisan, komunikasi cenderung bersifat praktis, bahkan kadang-kadang “melanggar” aturan-aturan tata bahasa. Bahasa percakapan sehari-hari bertujuan semata-mata untuk mengungkapkan maksud pembicara. Jika mitra bicara sudah mengetahui maksud yang diungkapkan pembicara maka komunikasi sudah berhasil. Oleh karena itu Kolokial dinilai sebagai bahasa pasar yang lebih rendah dari bahasa baku.
Kolokial adalah bahasa yang tidak begitu khas bagi lapisan sosial tertentu, tetapi lebih khas bagi situasi bertutur tertentu, yakni situasi santai (Basuki Suhardi, 1995:163). Kosakatanya berupa kata-kata yang telah mengalami penurunan sesuai situasi.




Vulgar dalam Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang heterogen. Selain dikenal adanya tingkatan sosial (priyayi dan wong cilik), masyarakat Jawa juga dapat dibedakan ke dalam golongan orang kota (wong negara) dan orang desa (wong désa, manca negara), orang kaya (wong sugih) dan orang miskin (wong mlarat, kêsrakat), serta orang terpelajar (wong pintêr) dan orang kurang terpelajar (wong bodho). Orang-orang kaya biasanya juga tergolong orang yang terpelajar karena mereka selalu menyekolahkan anak-anaknya, sebaliknya orang miskin biasanya juga tergolong orang yang kurang terpelajar karena mereka tidak mampu bersekolah.
Vulgar dalam bahasa Jawa banyak dipergunakan oleh masyarakat yang kurang terpelajar, dengan demikian juga yang miskin. Vulgar bagi golongan priyayi Jawa dinilai sebagai bahasa yang tidak sopan. Sopan santun (tata krama) Jawa agaknya memang identik dengan golongan priyayi. Golongan priyayi dalam segala tindakannya harus selalu menjaga sopan santun, termasuk santun berbahasa. Hal itu disebabkan karena para priyayi adalah golongan yang dekat dengan raja dan keraton yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa. Dalam segala hal para priyayi harus bersikap halus. Sebaliknya golongan wong cilik, apalagi yang kurang terpelajar, dan tinggal di desa cenderung kurang menguasai tata krama, sehingga segala tindakannya kasar, termasuk di dalam berbahasa. Oleh karena orang-orang yang kurang terpelajar itu kurang mengenal tata krama maka ia tidak merasa janggal atas kekasaran dalam berbahasa, mereka telah terbiasa dalam berlaku demikian.
Contoh Vulgar dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:

A : Dhasaré lanangan ngglathak! Mung buruh gêrji waé gêgêdhèn tékat nyunduki prawan! Mbok nyêbut! O uwong ki yèn thukmis!
B : Sum! Aja sêru-sêru, iki ki nèng kampung!
A : Sing gawé ramé dhisik sapa? Yèn wédokanmu ora nganti mêtêng ya ora bakal dadi ramé! Bèn waé! Kabèh bèn dha ngêrti. Mbah…Mbah Sima, Gito ngêtêngi prawan! Lik… Lik Jiah, gilo iki si Gito ngêtêngi bocah!
B : Sum, cangkêmmu bisa mênêng ora ta Sum!
A : Apa kuwi … Karêpé golèk gratisan! Grayangan nèng pêtêngan, mbok diakoni waé nèk ora kuwat nglonthé! Lha, sukur saiki bocahé mêtêng! Rumangsané apa dha ora ngêrti.
B : Cocotmu sida tak suwèk, mêngko!
A : Bèn! Wis sakkarêpmu dhéwé! Tanggungên dhéwé! Ning aku ra sudi mbok maru. Ora sudi! Aku minggat! Sumpêg nèng kéné! Wong lanang ki yèn wis kêbrongot birahiné dadi kaya kéwan kontholé! Gatêl ya gatêl, ning diampêt sêdhéla apa ya ra bêtah. Sêmêlang dadi akik pa piyé! Njur apa gunané bêbojoan, kok ndadak golèk turuk liyané! Béda apa jênêngé, béda apa ambuné, béda apa rupané!

Terjemahan:

A : Dasar laki-laki rakus! Hanya tukang jahit saja bertekad menumpuk gadis! Mbok menyebut! O orang itu kalau hidung belang!
B : Sum! Jangan keras-keras, ini di kampung!
A : Yang lebih dulu membuat ramai siapa? Jika pacarmu tidak sampai hamil ya tak akan jadi ramai! Biar saja! Semua biar tahu. Mbah … Mbah Sima, Gito menghamili gadis! Lik … Lik Jiah, ini lho Gito menghamili gadis!
B : Sum, mulutmu bisa diam tidak to Sum!
A : Apa itu … inginnya mencari gratisan! Meraba-raba di kegelapan, diakui saja jika tidak kuat (membayar) pelacur! Lha, rasakan sekarang anaknya hamil. Dikiranya apa tidak pada tahu ….
B : Mulutmu jadi kusobek nanti!
A : Biar! Sudah sekehendakmu saja! Tanggung saja sendiri! Tapi aku tidak mau dimadu. Tidak mau! Aku pergi! Gerah di sini! Laki-laki itu kalau sudah terbakar birahi jadi seperti hewan kemaluannya! Gatal ya gatal, tapi ditahan sebentar apa ya tidak kuat. Takut jadi akik apa gimana! Lalu apa gunanya berkeluarga, kok masih cari kemaluan yang lain! Beda apa namanya, beda apa baunya, beda apa bentuknya!


Demikianlah, dari kutipan Vulgar di atas tampak bahwa termuat leksikon yang bernuansa kasar. Ditinjau dari tingkat tutur, bahasa kasar tergolong dalam tingkat Ngoko. Bahasa kasar dalam bahasa Jawa memang selalu berbentuk Ngoko yang tercampur kata-kata kasar (Antunsuhono, 1953: 9). Kosakata memang merupakan penentu bentuk bahasa atau tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Ngoko maka ia tergolong tingkat Ngoko. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Krama maka masuk tingkat Krama.
Masyarakat tutur Jawa mengenal adanya kosakata Ngoko, Madya, Krama, dan Krama Inggil. Selain itu juga dikenal kosakata kasar. Beberapa kosakata kasar antara lain adalah sebagai berikut.

Kasar Ngoko Arti
cocot cangkêm ‘mulut’
gêrangan tuwa ‘tua’
goblog bodho ‘bodoh’
mbadhog mangan ‘makan’
micêk turu ‘tidur’
modar mati ‘mati’
picêk wuta ‘buta’
wadhuk wêtêng ‘perut’


Selain itu, kata-kata kasar juga sering dipungut dari kata-kata untuk binatang yang diterapkan untuk manusia, misalnya suthang yang berarti ‘kaki belalang’ digunakan untuk menyebut kaki manusia. Kata nguntal yang berarti ‘makan’ untuk ular digunakan untuk manusia. Dalam hal ini kekasarannya disebabkan oleh penurunan derajat manusia ke tingkat binatang.
 


Slang dalam Masyarakat Jawa

Slang di masyarakat Jawa banyak dikenal dan dimiliki oleh remaja dan anak-anak muda. Akan tetapi karena sifatnya yang temporal dan tak terdokumentasikan maka masih sedikit peneliti yang telah mendeskripsikannya dengan rinci. Penelitian tentang Slang dengan demikian juga selalu ketinggalan zaman karena ketika penelitian selesai, bahasa itu sudah tidak dipergunakan lagi.
Salah satu Slang yang pernah ada di Yogyakarta sekitar akhir tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an adalah bentuk “Walikan”. Sementara orang menyebut Slang bentuk ini sebagai bahasa Gali (Gabungan Anak Liar) padahal pencetus dan pemakai pertama kali justru anak-anak yang kreatif dan terpelajar. Gali memang kemudian mengadopsinya. Slang ini lalu berkembang sangat luas sebelum akhirnya hilang. Para pemakai merasa satu kelompok dan senasib, sehingga untuk menyelesaikan konflik di antara anak-anak muda sangat sering digunakan bahasa Slang ini.
Contoh Slang jenis “Walikan” adalah sebagai berikut:

A : Hiré nyasayé Dab?
      Piyé kabaré Mas?
     ‘Bagaimana khabarnya Mas?’
B : Pahiny panyu.
      Apik aku
     ‘Saya baik’
A : Nyothé padha yonyon?
      Kowé ana rokok?
     ‘Kamu punya rokok?’

Slang jenis “Walikan” ini mempunyai rumus yang diambil dari huruf Jawa. Huruf Jawa yang berjumlah dua puluh dan terbagi ke dalam empat baris kemudian saling dibalikkan, huruf yang terdapat pada baris pertama diganti dengan huruf yang terdapat pada baris ketiga, demikian juga sebaliknya. Huruf yang terdapat pada baris kedua diganti dengan huruf yang terdapat pada baris keempat dan sebaliknya. Secara rinci beberapa kaidah dalam bahasa “Walikan” dapat diuraikan sebagai berikut.

1)Konsonan diganti sesuai dengan kedudukan dalam urutan huruf Jawa sedangkan vokal tetap, misalnya proses penggantian kata kowé menjadi nyothé adalah sebagai berikut.
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya
ma ga ba tha nga
Kata kowé terdiri atas konsonan k dan w. Konsonan k terdapat pada baris pertama sehingga diganti dengan ny dari baris ketiga. Konsonan w terdapat pada baris kedua sehingga diganti th dari baris keempat. Vokal tetap sehingga terbentuk kata nyothé

2)Afiks tidak berubah/tetap, misalnya:

Afiks Kata bentukan Slang Arti
tak-(dak-) taktuku takgunyu ‘kubeli’
tok-(kok-) toktuku tokgunyu ‘kaubeli’
di- dituku digunyu ‘dibeli’
-ku motorku dogosku ‘motorku’
-mu mobilmu dosingmu ‘mobilmu’
-é motoré dogosé ‘motornya’
-ké/-aké tukokké gunyokké ‘belikan’


3)Bunyi [ny] pada akhir kata dilafalkan [n], misalnya:

Seharusnya Dilafalkan Ngoko Arti
thémony thémon wédok ‘perempuan’
pahiny pahin apik ‘baik’
nyawony nyawon kathok ‘celana’
sahany sahan bapak ‘ayah’
pédhany pédhan énak ‘enak’


4)Bunyi [y] pada akhir suku pertama berubah menjadi [s], misalnya:

Seharusnya Dilafalkan Ngoko Arti
lêygi lêsgi ngêrti ‘tahu’
Sèygidh Sèsgidh Bèrtin ‘Bertin’
nyuyda nyusda kurma ‘kurma’
têynu têsnu gêrdhu ‘gardu’


5)Dimungkinkan beberapa bagian kalimat dihilangkan, misalnya:

Poya mothik panyu.
Ora dhuwit aku.
‘Aku tidak punya uang’.

Jika diperhatikan kalimat di atas adalah kalimat yang tidak lengkap. Jelasnya kalimat di atas predikatnya tidak lengkap. Maksud kalimat di atas adalah seperti tampak dalam terjemahannya. Unsur yang hilang adalah kata duwé ‘punya’ yang seharusnya berbentuk muthé. Meskipun demikian mitra bicara sudah dapat menangkap makna kalimat itu karena sudah menjadi kesepakatan.

6)Dimungkinkan memungut dari bahasa Indonesia, misalnya:

Dayi lodsé Dab.
Mari ngombé Mas.
‘Mari minum Mas’.

Kata dayi ‘mari’ dalam kalimat di atas adalah kata pungut dari bahasa Indonesia. Contoh yang lain misalnya:

Bigu thip daladh muyul?
Situ wis mangan durung?
‘Situ sudah makan belum?’




7) Kata-kata yang sangat rahasia dibuat “simbol” bertingkat. Perhatikan contoh berikut.

Ngoko Walikan I Walikan II Arti harafiah
ganja tadhca sayal barang
pil (koplo) hing sêdhiny bênik

Demikianlah, Slang dalam bahasa Jawa yang pernah banyak digunakan dalam komunikasi di antara anak-anak muda. Slang dalam bahasa Jawa ini “dibangun” dari landasan bahasa Jawa Ngoko. Sebagai bahasa pergaulan di antara sesama teman bahasa Ngoko memang lebih cocok. 



Kolokial dalam Masyarakat Jawa

Kolokial sebagai bahasa lisan dalam percakapan sehari-hari juga dikenal dalam masyarakat tutur Jawa. Salah satu sifat dari Kolokial adalah adanya unsur informal di dalam situasi tutur. Bahasa percakapan sehari-hari memang cenderung bersifat santai dan cair.
Kolokial ditandai oleh kosakata yang dipergunakan telah mengalami penurunan sesuai dengan situasi tutur. Oleh karena itu Kolokial dinilai lebih rendah daripada bahasa baku. Penurunan tataran sesuai dengan situasi tersebut berkaitan dengan tujuan praktis dari komunikasi informal di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bentuk nyata dari adanya penurunan kosakata di dalam Kolokial adalah pada proses “pembuntungan”, artinya kata-kata banyak yang dikurangi suku katanya sehingga menjadi tidak lengkap lagi. Meskipun kosakatanya telah mengalami “pembuntungan” akan tetapi komunikasi tetap dapat berjalan lancar.
Jika Kolokial dipergunakan di dalam situasi santai, maka bahasa Jawa yang pertama-tama memiliki bentuk Kolokial adalah bahasa Ngoko. Hal ini disebabkan karena bahasa Jawa Ngoko tidak terbebani oleh rasa hormat antara pembicara dan mitra bicara. Dengan tidak adanya rasa hormat tersebut bahasa Jawa Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara pembicara terhadap mitra bicara. Di dalam bahasa Jawa Ngoko pembicara tidak memiliki perasaan pakéwuh terhadap mitra bicara sehingga suasana tutur menjadi santai.
Beberapa bentuk kosakata Kolokial dalam tataran Ngoko antara lain adalah sebagai berikut.

Kolokial Ngoko
Arti
nggo kanggo ‘untuk’
njur banjur ‘lalu’
suk sésuk ‘besok’
cah bocah ‘anak’
ya iya ‘iya’
ning nanging ‘tetapi’
ra ora ‘tidak’
sah susah ‘usah’
dha padha ‘pada’
péngin kêpéngin ‘ingin’
bèn yobèn ‘biar’
wis uwis ‘sudah’
thoprak kêthoprak ‘ketoprak’

Contoh pemakaian kosakata di dalam kalimat adalah sebagai berikut.
- Ngamal jariah Bit, ngamal, nggo nglêbur dosa. Bèn jêmbar kuburmu, éntuk dalan padhang suk nèk mulih.
‘Beramal jariah Bit, beramal, untuk melebur dosa. Biar luas kuburmu, mendapat jalan terang besuk saat meninggal.’
- Sing nggo ngamal ki dhuwit gambar apa?
‘Yang untuk amal itu uang gambar apa?’
- Ora kaya cah saiki, dhalang kok sekolah, dhalang kertas kuwi.
‘Tidak seperti anak sekarang, dalang kok sekolah, dalang kertas itu.’
- Mumpung dadi patih, mbok aku ya ngono Lik!
‘Kesempatan jadi patih, aku pun juga begitu Paman!’
- Ning tanggor Likmu Bismo, Sêngkuniné Gondo Gêmpil dituku.
‘Tetapi menghadapi Pamanmu Bismo, Sengkuni milik Gondo Gempil dibeli.’
- Ora ujar ora kaul, sing ngêlèti Sêngkuni kudu aku, ra sah Brataséna.
‘Tidak bernadar tidak berkaul, yang menguliti Sengkuni harus aku, tidak usah Bratasena.’
- Sing arêp tuku dha antri.
‘Yang akan membeli pada antri.’
- Sing mudhêng têmbung hogi mêsthi péngin nuku papan kéné.
‘Yang memahami kata hogi pasti ingin membeli tempat ini.’
- Mbok bèn, sing mudhêng têmbung hogi ngétung-étung dhuwité.
‘Biar saja, yang tahu kata hogi menghitung uangnya.’
- Kowé apa wis ora péngin manggon kéné?
‘Kamu apa sudah tidak ingin bertempat tinggal di sini?’
- Thopraké ki lakoné apa kok sing nonton nganti antri.
‘Cerita ketopraknya apa to kok penontonnya sampai antri.’

Kata-kata sapaan yang menunjukkan hubungan kekerabatan juga banyak mengalami “pembuntungan” menjadi Kolokial. Perhatikan kata-kata berikut.

simbah mbah
pakdhé dhé
paklik lik
bapak pak
ibu bu
kangmas mas
kakang kang
mbakyu yu
adhi dhi

Selain bahasa Jawa Ngoko, bahasa Jawa Madya juga dapat disebut sebagai Kolokial. Hal itu disebabkan karena (1) bahasa Jawa Madya adalah bahasa Jawa Krama yang diturunkan (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 12), dan (2) Bahasa Jawa Madya memang bahasa Jawa Krama yang mengalami proses kolokialisasi (Soepomo Poedjasoedarmo, 1979: 15).
Berbeda dengan bahasa Jawa Ngoko, bahasa Jawa Madya masih mengandung sedikit rasa hormat pembicara terhadap mitra bicara. Bahasa Jawa Madya dikenal sebagai tingkat tutur yang agak hormat. Rasa hormat yang dikandung oleh Bahasa Jawa Madya lebih rendah dari yang dikandung oleh bahasa Jawa Krama. Oleh karena itu bahasa Jawa Madya terasa lebih santai bila dibandingkan dengan bahasa Jawa Krama.
Beberapa contoh kosakata Madya adalah sebagai berikut.

Madya Krama
Arti
ampun sampun ‘jangan’
dugi dumugi ‘tiba, sampai’
êmpun sampun ‘sudah’
kèn kèngkèn ‘suruh’
king saking ‘dari’
napa punapa ‘apa’
nika punika ‘itu’
njing bénjing ‘besok’
têng dhatêng ‘ke’
sêg sawêg ‘sedang’

Dari beberapa contoh kosakata Madya di atas tampak bahwa leksikon Madya telah mengalami “pembuntungan” atau kolokialisasi dari kosakata Krama. Terdapat beberapa bagian dari kata Krama yang dihilangkan.

 
 


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Antunsuhono. 1953. Reringkesaning Paramasastra Djawi. Jogjakarta: Soejadi.
Basuki Suhardi, et al (penerjemah). 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. (Edisi Ketiga). Jakarta: Gramedia.
Mansoer Pateda. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Maryono Dwiraharjo. 2001. Pokok-Pokok Materi Perkuliahan Sosiolinguistik. Surakarta: Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Soepomo Poedjosoedarmo, et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset. 



(Sumber : Mata Kuliah Linguistik)