Pragmatik
Levinson (1983) mendefinisikan
pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan
konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga
tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik
adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan
situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna
dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna
yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Makna-makna yang demikian itu
kiranya dapat disebut sebagai maksud (Verhaar, 1992) yaitu maksud penutur. Oleh
karena itu, Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik itu sebagai bidang
linguistik yang mengkaji maksud ujaran (Lubis, 1993: 9).
Teori Tindak Tutur
Teori tindak tutur adalah pandangan
yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa dapat dipahami dengan baik apabila
dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya ungkapan tersebut.
Searle (1976) mengklasifikasikan tindak
tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke dalam lima
kelompok besar, yaitu:
a.
Representatif: Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang
mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta, mengatakan,
menyatakan dan melaporkan.
b. Komisif:
Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya
janji dan ancaman.
c. Direktif:
tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu, seperti
saran, permintaan, dan perintah.
d. Ekspresif:
Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai
keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima
kasih.
e. Deklaratif:
tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya
ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ’Saya mengundurkan diri’,
memecat seseorang dengan mengatakan ’Anda dipecat’, atau menikahi seseorang
dengan mengatakan ’Saya bersedia’.
Dalam teori tindak tutur satu bentuk
ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikan dari kenyataan
tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi
dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran.
Seperti tampak pada contoh tuturan berikut:
Santri 1 : Hawane puanas. (Sambil memegang
tenggorokan)
’Udaranya panas sekali’
Santri 2 : Tak jupukna ngombe.
’Aku ambilkan minuman’
Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan seorang
santri kepada temannya yang baru saja pulang sekolah di asrama mereka.
Ujaran ”Hawane puanas” tersebut
berfungsi sebagai permintaan, sama seperti Aku jupukna ngombe ’Ambilkan
aku minuman’. Seorang santri mungkin juga menyatakan permintaan dalam bentuk
pernyataan mengenai keadaan tubuh dengan mengatakan Aku ngorong ’Aku
haus’.
Dengan adanya berbagai macam cara untuk
menyatakan permintaan tersebut dapat disimpulkan dua hal mendasar, yakni adanya
(1) tuturan langsung dan (2) tuturan tidak langsung sebagaimana yang telah
diungkapkan Fatimah (Fatimah, 1994: 65-70).
Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat
diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh serta kejelasan pragmatiknya.
Yang dimaksud dengan jarak tempuh adalah jarak antara titik ilokusi yang berada
dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam diri mitra
tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya semakin tidak langsunglah tuturan itu.
Demikian pula sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelasan pragmatik
adalah kenyataan bahwa semakin tembus pandang sebuah tuturan akan semakin
langsunglah tuturan tersebut. Jika dikaitkan dengan kesantunan, semakin jelas
maksud sebuah tuturan akan semakin tidak santunlah tuturan itu, sebaliknya
semakin tidak tembus pandang maksud tuturan akan menjadi semakin santunlah
tuturan itu.
Kesantunan Berbahasa
Fraser
dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated
with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”.
Dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran
dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui
hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa
ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan
itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat
pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran.
Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si
penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar
santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan
hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar
santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak
melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi
kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Hildred Geertz dalam Franz
Magnis-Suseno (2001: 38) menyatakan bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan
pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua kaidah ini sangat erat hubungannya
dengan kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia
hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik.
Franz menyebut kaidah ini sebagai prinsip kerukunan. Kaidah kedua, menuntut
agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Franz menyebut
kaidah kedua ini sebagai prinsip hormat.
Menurut Mulder (1973), keadaan rukun
terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka
bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Pendapat
Mulder ini diperkuat oleh pernyataan Hildred Geertz (1967) bahwa berlaku rukun
berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara
pribadi-pribadi sebagai hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan
baik-baik. Dalam kaitannya dengan prinsip hormat, Hildred Geertz menjelaskan
ada tiga perasaan yang harus dimiliki masyarakat Jawa dalam berkomunikasi
dengan tujuan untuk menciptakan situasi-situasi yang menuntut sikap hormat,
yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Ketiga hal tersebut
merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial
untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.
Dengan demikian individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat,
sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak (Franz, 2001:
65).
Dalam masyarakat pesantren prinsip
kerukunan dan prinsip hormat ini terlihat dengan jelas. Mereka sangat menjaga
kerukunan antarsantri dan sebisa mungkin untuk menghindari konflik di
lingkungan pesantren. Para santri berusaha menjaga keseimbangan sosial yang di dalamnya terdapat
norma-norma bagi santri. Bahkan sesama santri sering terlihat suka bekerja sama
dan saling menerima. Semua hal tersebut tercermin dalam kegiatan santri serta
komunikasi santri sehari-hari, bagaimana santri berkomunikasi dengan teman
serta dengan pengurus pondok maupun ustadzah. Dalam komunikasi mereka sering
menunjukkan sikap wedi (takut), isin (malu), dan sungkan terhadap
santri yang mempunyai derajat atau kedudukan yang lebih tinggi.
Menurut Leech dan Brown dan Levinson
prinsip kerja sama sebagaimana yang dikemukakan Grice dalam komunikasi yang
sesungguhnya sering dilanggar atau tidak dipatuhi oleh para peserta tutur. Hal
ini disebabkan karena di di dalam komunikasi tujuan kita tidak hanya
menyampaikan informasi saja, melainkan juga untuk menjaga atau memelihara
hubungan-hubungan sosial antara penutur dan petutur (walaupun ada
peristiwa-peristiwa tutur tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan hubungan
itu). Kebutuhan noninformatif ini termasuk dalam kebutuhan komunikatif yang
bersifat semesta.
Jika tujuan kita berkomunikasi hanya
untuk menyampaikan informasi saja, maka strategi yang paling baik diambil
adalah menjamin kejelasan pragmatik (pragmatic clarity) dan menjamin
ketibaan daya ilokusi (illocutionary force) di titik ilokusi (di benak
pendengar) paling segera. Akan tetapi pada komunikasi sehari-hari,
ujaran-ujaran seperti itu dianggap terlalu berterus terang dan oleh sebagian
masyarakat dinilai tidak santun.
Untuk menentukan parameter kesantunan imperatif (dalam
hal ini Leech menyebutnya impositif), Leech (1993) mengemukakan tiga skala
kesantunan, yaitu:
1. Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit
of an act to speaker and hearer. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan
keuntungan menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
2. Optionality scale: Indicating the degree of choice
permitted to speaker and/or hearer by a spesific linguistic act. Optionally
scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan
(options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan
bertutur.
3. Indirectness scale: Indicating the amount of
inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker
meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada
peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Teori kesantunan berbahasa menurut
Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka (face). Semua orang yang
rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga,
dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat
dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif.
Muka negatif mengacu ke citra diri
setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan
membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari
keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri
setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa
yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat
dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu
hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya.
Kesantunan imperatif berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan ini
berfungsi untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu.
Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan
ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown
dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA). Untuk
mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan sopan
santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan
muka positif, maka kesantunan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kesantunan
negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka
positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif pada contoh di bawah ini
misalnya, dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindari konflik antara
penutur dan petutur, yang sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun
dapat terancam oleh tindak ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam
muka penutur. Untuk melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat menggunakan
tindak ujar tak langsung. Perhatikan kalimat berikut:
Mene awan nganggur Is?
’Besok siang menganggur Is?’
Konteks tuturan pada kalimat itu
diucapkan oleh santri kepada temannya (mitra tutur). Tuturan tersebut dapat
ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka diri. Kalau ajakan itu
ditolak, maka mitra tutur dapat menyelamatkan mukanya dengan balik bertanya:
Sopo sing ate dolan nang kamarmu? Aku lak takon thok.
’Siapa yang akan main ke kamarmu?
Aku kan hanya bertanya’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya yang
beda kamar saat satu hari sebelum hari libur sekolah.
Menurut Brown dan Levinson, karena adanya ancaman tindak
ujaran itulah penutur perlu memilih strategi untuk mengurangi atau, kalau
dapat, menghilangkan ancaman itu. Brown dan Levinson mengidentifikasikan empat
strategi dasar dalam kesantunan berbahasa, yaitu strategi 1 kurang santun,
strategi 2 agak santun, strategi 3 lebih santun, dan strategi 4 paling santun. Keempat
strategi kesantunan ini harus dikaitkan dengan parameter pragmatik (Wijana,
1996: 64-65).
Dalam model kesantunan Brown and Levinson (1987) terdapat
tiga parameter atau skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah
tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan
kultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut:
1. Skala peringkat jarak sosial antara
penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer)
banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, kenis kelamin, dan latar
belakang sosiokultural.
2. Skala peringkat status sosial antara
penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau
seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada
kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
3.
Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau
lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the required
expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak
tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.
Baik kesantunan yang mendasarkan pada maksim percakapan
maupun pandangan kesantunan yang mendasarkan pada konsep penyelamatan muka,
keduanya dapat dikatakan memiliki kesejajaran. Kesejajaran itu tampak dalam hal
penentuan tindakan yang sifatnya tidak santun atau tindakan yang mengancam muka
dan tindakan santun atau tindakan yang tidak mengancam muka.
Imperatif
Beberapa ahli tata bahasa menggunakan
istilah lain yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan istilah kalimat
imperatif, diantaranya Alisjahbana dan Gorys Keraf yang menggunakan istilah
kalimat perintah.
Alisjahbana (1978) mengartikan kalimat
perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh, mengajak,
meminta, agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang dimaksudkan di dalam
perintah. Berdasarkan maknanya, yang dimaksud dengan memerintah adalah
memberitahukan kepada mitra tutur bahwa si penutur menghendaki orang yang
diajak bertutur itu melakukan apa yang diberitahukannya.
Gorys Keraf (1991) banyak menjelaskan
kalimat perintah bahasa Indonesia dalam karya ketatabahasaannya. Ia
mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung perintah atau
permintaan agar orang lain melakukan sesuatu seperti yang diinginkan orang yang
memerintah itu.
Dalam komunikasi sehari-hari, tuturan
bermakna imperatif bisa diwujudkan dengan tuturan deklaratif maupun tuturan interogatif.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada contoh berikut:
(a) Tutupen lawange!
’Tutup pintunya!’
(b) Angine nggarai krekes-krekes.
’Anginnya membuat (aku) meriang.’
(c) Sampeyan gak wedi masuk angin ta
mbak?
’Kamu tidak takut masuk angin mbak?’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri
kepada teman satu kamarnya saat angin bertiup kencang.
Ketiga tuturan di atas mempunyai makna
imperatif meskipun ada tuturan yang berwujud deklaratif (tuturan b) dan
berwujud interogatif (tuturan c). Ketiga tuturan tersebut memiliki makna
imperatif yang sama yaitu menyuruh mitra tuturnya untuk menutup pintu kamar.
Kashiwazaki dalam Roni (2005: 80)
mengungkapkan makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur
menjadi tiga, yaitu:
a. Makna
perintah
Pada makna
perintah, jika hasil tindakan berfaedah (menguntungkan) bagi 01 maka akan
menjadi beban (kerugian) bagi 02, dan jika berfaedah bagi 02 kadang-kadang juga
menjadi beban bagi 01. tetapi dalam fungsi ini 02 dituntut harus melakukan
suatu tindakan. Dengan kata lain faktor pilihan (option) 02 sangat kecil bahkan
tidak ada. Perhatikan contoh berikut:
Disemak kitabe! Ojo ngomong dewe.
‘Dilihat kitabnya! Jangan
ngomong sendiri.’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang
mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.
b. Makna
permintaan
Pada makna
permintaan, hasil dan tindakan 02 berfaedah (menguntungkan) bagi 01 (atau
mungkin orang ketiga), dan sebaliknya menjadi beban (merugikan) bagi 02.
Pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan
bagi 02 adalah “sedikit banyak ada“. Perhatikan contoh berikut:
Tulung jupukna disketku ijo iku!
’Tolong, ambilkan disketku (yang
berwarna) hijau itu!’
Konteks
tuturan:
Tuturan di atas
diucapkan santri kepada temannya di ruang kelas.
c. Makna
nasehat (rekomendasi).
Pada makna
nasehat, hasil dari tindakan 02 berfaedah bagi 02 sendiri. Bagi 01
kadang-kadang tidak menjadi beban, tetapi kadang-kadang juga menjadi beban.
Dalam fungsi ini pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan sesuatu atau
melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “ada“.
Nggawea jam lek ujian.
’Pakailah jam (jam tangan) kalau
ujian.’
Konteks
tuturan:
Tuturan
tersebut terjadi antarsantri ketika akan berangkat ujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar