“Tuanku ! baiklah cerita itu diteruskan ! apakah yang diperbuat oleh
leluhur saya, sesudah menetap di Indraprastha. Teruskanlah cerita tuanku”
Demikian kata meharaja Janamejaya, sang Waisampayana menjawab, (katanya)
: “Alihkan perhatianmu !”. kedudukan maharaja Yudhisthira sudah enak (dunia pun
tentram), merasa senang karena semua mengerjakan pekerjaannya masing-masing.
Beberapa lamanya menjadi raja itu, Bathara Narada datang, yaitu seorang Wiku
(dewa) dari surga, siap dengan bunyi-bunyian tujuh suara, nyanyian dan tarian,
lagi pula empat macam weda tidak karuan keluarnya dari mulut.
Maharaja Yudisthira menghormat kedatangan sang resi itu, menyambut dengan
air pencuci kaki dan kumur sebagai tanda penghargaan, menyerahkan tempat duduk
raja dan menanyakan maksud kedatangannya.
Maka seru bagawan Narada : “Maharaja Yudhisthira, maksudku datang
kepadamu sekarang ini, mewartakan kabar gembira. Hal memperistri sang Dropadi ini, janganlah kurang
berhati-hati. Ada dua daitya bersaudara namanya si Sunda dan Upasunda. Keduanya
sangat berkasih-kasihan, tidak makan kalau tidak berdua.
Ekasilasamasarau. Selalu satu
pendiriannya. Keduannya bermaksud akan menaklukkan 3 benua, maka bertapalah di puncak
gunung Windhya, berjanggut dengan berpakaian kulit kayu, tidak makan, tidak minum
dan tidak pula tidur.
Atmamamsani homantau. Yang
dikorbankan daging mereka berdua, dipotong-potong sekerat demi sekerat
disajikan kepada sang hyang Agni. Mereka berdiri pada sebuah kaki, yang
ditapakkan ibu jari kaki kirinya. Mereka selalu memuja (?) kepada sang hyang
Aditya dengan cara selalu berpanasan (pada terik matahari). Mereka bertapa
sampai lama. Para dewa rebut mencari akal, supaya tapanya urung. Ada seorang
putri buatan yang diciptakan oleh dewa, tingkahnya bermacam-macam. Membawa emas
dan manikam dan segala macam barang yang berharga dan berbuat lain lagi yang
meruntuhkan nafsu daitya itu. Tetapi tetaplah hati kedua daitya itu, tidak
dapat diganggunya. Karena marahnya, diangkatnya gadanya akan dipergunakan sebagai
pemukul putri maya itu. Putri itupun lari ketakutan oleh prabawa mereka.
Sesudah putri itu pergi mereka berdua merasa enak bersemadi. Disanalah bathara
Brahma datang, menyerukan supaya dua orang daitya itu minta anugrah
(kepadanya). Maka kata mereka berdua : “bathara ! kami merasa bergembira karena
akan mendapat hadiah kalau diperkenankan lingkungan tribuana akan kami kuasai
berdua. Tiadalah seorangpun di dunia yang berani melawan kami, tiada sesuatu
makhlukpun yang membahayakan. Agranye
ca pitamanah selain kami berdua”
Demikian katanya, sang bathara
Brahma memperkenankan. Sesudah mendapat anugrah itu, daitya menyembahnya. Surga
lalu diserbunya, tiada satu dewapun dapat menahannya. Demikianlah dunia
dikuasainya.
Pranastanrpatidwija. Tiada
terdapat lagi rajanya, tiada pula terdapat Brahmananya (yang ada) hanya
ketakutan oleh dua orang daitya itu. Lenyaplah empat buah asrama, tiada pula
ada mantra, mantra penglebur dan korban api.
Para dewa bersedih hati, lalu
menghadap bathara Brahma, berundinglah semuanya minta anugrah, yaitu kematian
dua orang raksasa itu. Maka kata bathara Brahma kepada sang Waiswakarma :
“Sriyatam prarthaniyaika pramadeti mahatapah !”
Anakku sang Wiswakarma.
Ciptalah putri yang molek parasnya, yang (kiranya) akan dikehendaki oleh dua
orang daitya itu. Itulah yang akan menyebabkan patinya.
Demikian kata sang hyang
Brahma. Sang Wiswakarmapun mengerjakan dengan hati-hati, diambilnya ratna yang
bagus, terdiri dari seratus biji wijen, dikumpulkan akhirnya menjadi seorang putri
jelita diberinya nama Tilottama Tilam-tilam samaniya. Karena dibuat dari biji
satila (wijen) dahulu. Lalu ia menyembah kepada bathara Brahma (sang hyang
Rudra menghadap juga kepada bathara Brahma) tertawan oleh molek jelitanya, maka
dibuatnya muka 4 (empat) buah, utara, selatan, barat, dan timur, supaya tidak
susah menolehnya melihat sang Tilottama yang sedang menyembah itu. Demikian
pula sang hyang Indra pandangan matanya tidak memberi kepuasan, lalu dibuatnya
mata seribu buah, tiada juga kenyang memandangnya, demikian pula para dewa
semua, hanya sang Tilottamalah yang menjadi sasaran matanya.
Tetapi sang hyang Brahma tidak
ikut tertarik. Sesudah menyembah sang Tilottama pergi ketempat dua orang
daitya, yang (pada waktu itu) sedang berpesta, berada di puncak gunung Windhya.
Dijanjikan (ditarikan) disertai bunyi-bunyian oleh para raja, segala macam
hidangan sudah dimakannya.
Di didekat tempat pesta itu
ada sebuah taman, sangat merindukan indahnya, penuh dengan segala macam
bunga-bungaan, dilindungi oleh sungai yang jernih airnya dan suci pula. Di sanalah
pura-pura sang Tilottama memetik bunga. Maka dua orang daitya tadi sudah mabuk
karena minuman, kemudian berdiri lalu ke taman, dilihatnya sang Tilottama yang
elok parasnya itu sedang memetik bunga. Tiada seorang putri jelitapun memadai
jelitanya, lagi pula segala tingkah lakunya sangat susila. Di situlah dua orang
daitya terkena panah asmara, sangat meluap tidak dapat ditahannya. Daitya Sunda
maju tangan kanan sang Tilottama dipegangnya. Sedang sang Upasunda tangan kiri
sang Tilottama yang dipegangnya. Maka kata kakaknya (sang Sunda) : “Adikku
Upasunda ! jangan engkau campur tangan atas putri ini, ini istriku. Anggaplah
istri kakaknya itu sebagai guru”. Kata sang Upasunda : “Kaka sang Sunda !
jangan engkau campur tangan terhadap putri ini. Ini istriku, anggaplah ia
sebagai istri adiknya !”
(Demikian katanya saling
membentak. Tiada yang mau melepaskan sang Tilottama, keduanya menginginkannya. Makin
besar kemarahan mereka, semua lupa saling kasihnya sebagai saudara. Lagi pula
sudah kemasukan (mabuk) oleh minuman keras, tidak mengenal lagi dharma dan
perbuatan baik. Keduanya mengangkat gada, tangan sang Tilottama dilepaskannya.
Kedua saudara itu pukul-memukul, saling menggunakan kesempatan, sama-sama besar
prabawanya. Akhirnya saling memukul, jatuh bersama-sama, badannya berlumuran
darah. Keduanya mati bersama-sama bangkainya terlentang di tanah.
Para golongan tentera daitya
lari ke bumi, takut kalau diserang para dewa. Sesudah daitya Sunda dan Upasunda
mati, sang Tilottama pulang ketempat bathara Indra menceritakan keadaan daitya
itu. Maka sang Tilottama lalu mendapat anugrah bertempat tinggal di Surga
mendapat kesenangan selaku bidadari. Itulah mati karena memperebutkan putri,
jangan dicontoh. Jangan sampai Maharaja demikian. Adapun perjanjian Maharaja dengan
sanak saudara Maharaja :
Draupadyanah sahasinan anyo’nam yo’ bhidarcayet. Kalau ada salah seorang datang menyusul
saudaranya ketika sedang berada dengan sang Dropadi, hendaknya lalu tinggal di hutan,
menjalankan tapa Brahmacari (tidak beristri) selama 12 tahun. Demikian
perjanjian yang hendaknya maharaja dan sanak saudara lakukan, supaya selalu
satu, agar menghasilkan ketentraman maharaja (serta sanak saudara). Demikian
kata Begawan Narada, sang Pandawa mengikuti perintah itu. Bagawan Narada lalu
lenyap dari tempatnya.
Ada seorang brahmana bertempat
tinggal di daerah Indraprastha. Ia kehilangan lembu. Maka ia menangis di Istana
tempat orang-orang menghadap raja, dengan maksud akan mengadukan kepada
maharaja Yudhistira, bahwa ada pencuri di daerahnya. Terdengarlah oleh sang
Arjuna orang menangis itu, lalu disuruhnya ; menenangkan pikirannya. Sang
Arjuna masuk ke tempat maharaja Yudhistira ketika sedang berada dengan sang
Dropadi. Maksud sang Arjuna akan mengambil senjatanya untuk mengejar pencuri.
Busur dan panah diambilnya. Ia lalu ingat akan perjanjiannya dengan sang
Narada, tetapi ia memilih berdiam di hutan supaya dapat menyelesaikan perkara sang
Brahmana tadi.
Sesudah panah diambilnya,
pencuri diikutinya, ia tertangkap terus dibunuhnya. Lembunya masih utuh tidak
cacat sedikitpun dan terus diberikan kepada Brahmana (yang empunya). Sang
Brahmana pun senang hatinya.
Sekarang sang Arjuna minta diberi
kepada maharaja Yudhistira, bahwa ia akan tinggal di hutan, tetapi maharaja
Yudhistira melarang, karena ingat akan kesedihan berpisah. Sang Arjuna tidak
mengindahkan larangan kakaknya, takut berdusta (mungkir janji). Akhirnya diijinkan,
karena menepati janji sang resi itu. Maka pergilah ia. Beraneka macam asrama
sudah didatanginya sampai pada pintu sungai Gangga. Mata air sungai Gangga itu
di gunung Himawan. Sang Arjunapun berjiarah kesana membuat korban api, membuat
pula korban api memuja sang hyang Aditya. Seorang putri naga menghampirinya ;
lalu ditegurnya :
“ka ca twam ksaya catmaja ? Siapakah putri molek yang menghampiri
saya ini. Siapakah orang tuamu ? katakanlah apa maksudmu”. Demikian kata sang
Arjuna. Putri naga itu menjawab : “Airawatakulotpannah. Ada raja naga putra
sang Airawata, namanya Korawya. Dialah yang mempunyai anak saya. (kedatangan
saya ini) hanya akan melihat kebagusanmu. Itulah sebabnya saya kemari. Karena
itu Arjuna, baiklah engkau kawin Ulupuy ini ! janganlah sampai diabaikan baktinya
kepadamu !”
Demikian sang Ulupuy. Sang
Arjuna menjawab :
“sangatlah kasihan akan
molekmu. Hai putri naga. Mestinya baik saya peristri, tetapi apa boleh buat,
maksud saya tinggal di hutan ini manjalankan tapa Brahmacari. Itulah perjanjian
saya dengan sanak saudara. Saya pantang mungkir akan janji saya”.
“suami sang Dhananjaya ! saya
tahu akan sebabmu lalu tinggal di hutan ini, yaitu karena datang ke tempat
maharaja Yudhistira ketika sedang berada dengan sang Dropadi. Benarlah engkau
menjalankan Brahmacari. Tetapi bukanlah kebrahmacarian itu dengan sang Dropadi
saja, tidak selayaknya berkasih-kasihan dengan engkau istri lain tidak ada
salahnya”.
Demikian kata putri naga itu.
Sang Arjunapun lalu bersedia. Lalu bercumbu-cumbuan dengan sang Ulupuy semalam.
Pada pagi harinya sang Arjuna pulang ke tepi sungai Gangga.
Disambutnya ia oleh para resi.
Ia menceritakan tentang kepergiannya ke patala. Lalu ia langsungkan
penghadiahan berupa lembu (dan pemberian emas) serta bermacam-macam lagi
perbuatan baik yang dilakukannya, yaitu memberikan dana kepada para Brahmana.
Kemudian dikabarkan orang, bahwa ia pergi ke timur, sampai pada asrama-asrama
yang sempurna, yaitu di hutan Naimisa, Kosikinadi, Gangga Kalinggadesa, semua
didatangi satu demi satu olehnya. Ia memberi dana dan (selalu) menjalankan
perbuatan baik juga. Ia selalu dijaga oleh Brahmana yang selalu mengikuti
kemana perginya, sampai di laut sebelah timur, lalu berjalan ke selatan, makin
jauh perginya, sampai di daerah Manayuradesa, di segala tempat perziarahan, di asrama,
dibuatnya korban api dan pemberian dana. Seorang raja bernama Citradahana,
yaitu raja di daerah Manayuradesa. Berputra seorang putri namanya Citragandha,
sangat moleknya. Kebetulan dilihat oleh sang Arjuna akan putri cantik itu maka
ia menginginkannya lalu minta kepada maharaja Citradahana. Putri raja itu
dimintanya kemudian dijawab maharaja Citradahana :
“Hai Partha, sang Dhananjaya.
Dengarlah ceritaku ! ada seorang raja brahmana namanya Prabhakara, raja di daerah
Manyura, yaitu leluhur saya. Ia tidak punya keturunan, karenanya bersusah hati.
Lalu bertapa memuja bathara Sangkara. Ia bertapa baik-baik, bathara Rudra turun
menganugerahinya, seorang putra sampai pada sanak saudaranya (karena itu) aku
beranak seorang putri ; yaitu namanya Citragandha yang engkau pinta dariku
sekarang ini.
Adapun perjanjianku, kalau
beranak seorang laki-laki, pergunakanlah sebagai pembeli seorang putrid yang
suci (gadis), (seakan-akan aku beranak seorang raja putra), itulah kalau engkau
beranak laki-laki.
Demikian kata maharaja
Citradahana. Sang Arjuna pun bersedia dan memberi kesanggupan sang Citragadha
akan berputera laki-laki. Kemudian dipertemukannya (dikawinkan).
Ia dan Citragadha
berkasih-kasihan, tiga tahun lamanya berada di sana. Kemudian pergi ke laut
Daksina (selatan), dilihatnya tempat pemandian yang suci sebanyak lima buah,
tidak dikunjungi oleh para resi.
Sang Arjuna bertanya kepada
pertapa, apa sebabnya tak ada yang mandi
di pemandian itu. Dikatakan bahwa ada bahaya besar di pemandian itu, karena
terdapat di dalamnya buaya yang ganas. Adapun nama pemandian itu :Sobhadra;
Poloma, Karandhama, Supawana,, Pramana, ditempati oleh lima ekor buaya. Demikianlah
kata sang maharesi.
Sang Arjuna turun mandi di pemandian Sobhadra, lalu datanglah buaya buas
itu seperti akan menggigit. Disergapnya
buaya itu dilemparkan dari tempatnya.
Tak lama kemudian terjelmalah
bidadari yang cantik jelita, badannya bercahaya kena sinar perhiasan manikam,
maka katanya :
Hai Sang Partha Dhananjaya.
Saya ini bidadari dari surga, nama saya Sarwada. Saya pengawal Sang Hyang Waesrahwana.
Masih ada bidadari teman saya 4 orang namanya Sang Sorabheyi, Sang Srmi, sang
Wudwuda, Sang Sitala.
Itulah teman-teman saya
bermain di hutan Lokapala. Saya lihat wiku (pendeta) yang sedang bertapa,
bersinar sinar Aditya, sinarnya memancar ke seluruh penjuru. Dia kami ganggu
tapanya.
Karena marahnya dihambat
tapanya, kami dikutuknya menjadi binatang buas “Grahabhuta twam”. Itulah sebabnya kami menjadi buaya. Kami minta
berakhirnya kutuk itu, katanya :
“Kalau ada orang yang dapat
mengeluarkan dari air tempatmu, engkau akan kembali menjadi bidadari”.
Demikian kutuknya kepada kami.
Lalu kami pergi mencari tempat pemandian yang bagus. Tiba-tiba berjumpa dengan
Begawan Narada. Ia menyuruh kami supaya berdiam di lima buah pemandian. Ada
orang yang namanya Arjuna yang kelak akan mengeluarkan engkau dari air. Itulah
anugrah Begawan Narada kepada saya. Sekarang engkau sudah datang melemparkan
saya dari dalam air, karenanya saya kembali menjadi bidadari. Kasihanilah kami,
teruskanlah anugrahmu kepada saya. Baiklah, kiranya kalau 4 orang saudara saya
engkau keluarkan juga dari telaga itu. Demikianlah permintaan sang Sarwada
dengan kasihnya kepada Arjuna. Buaya empat ekor (lainnya) itupun dikeluarkan
dari air. Dan lalu kembali berupa bidadari seperti sediakala. Kemudian minta
diri kepada sang Arjuna. Pergilah mereka melalui angkasa. Pemandian itu lalu
disucikan oleh sang Arjuna dan dipergunakan tempat mandi para maharsi.
Sang Arjuna pulang ke dareah Manayura, berkasih-kasihan dengan sang
Citragandha, berputra seorang laki-laki bagus parasnya diberi nama
Wabhruwahana. Kemudian pergi ke
Gokarna, sebuah gunung suci di tepi laut Daksina. Dari gunung Gokarna pergi ke
barat. Segala macam asrama didatanginya, sampai pada pemandian Prabhasa, asal
sungai Saraswati. Itu pemandian suci orang-orang Dwarawati. Sang Krsna
mendengar bahwa Arjuna berada di sana, lalu memanggil sang Dhananjaya itu.
Bersenanglah mereka berdua karena bersatu budi. Lalu keduanya pergi ke gunung
Raitawaka, yaitu gunung di Dwarawati. Di sanalah mereka berdua menikmati
keindahan segala macam bunga. Gunung Raiwataka sudah dilaluinya, sampai
Dwarawati. Dijemputnya oleh golongan Yadu, dijamunya dengan makanan dan
lain-lainnya. Mereka sudah selesai bertemu-temuan.
Beberapa lamanya ada di
Dwarawati, pada suatu hari ada pesta untuk para golongan keluarga Yadu, yaitu
di Raiwatakagiri (gunung Raiwataka). Gunung itu dihias, penuh dengan kubu-kubu
(kemah-kemah ?). di dalam pesta itu dipertunjukkan tari-tarian oleh para penari
wanita dan pria. Maharaja Ugrasena, yaitu raja di negeri Dwarawati datang
ketempat itu diiringkan oleh semua keluarga Yadu. Sang Baladewapun turut
bersama-sama dengan istrinya yang bernama Raiwati. Kemudian sang Samba,
Pradyumna, sang Gada, sang Nisatha, sang Ulmuka, sang Wadesa, sang Prthu,
itulah yang menjadi pemukanya golongan Yadu, Wrsni dan Andhaka, semua turut ke
gunung Raiwataka. Adapun sang Krsna bersama-sama dengan sang Arjuna, keduanya
dengan mengendarai kereta. Sampai di gunung Raiwataka, mereka memuja dahulu,
sebelum akan turut minum. Segala macam makananpun dinikmatinya, makanan yang
enak-enak, madu, minuman dll. Maka terdengarlah suara gamelan dan bunyi-bunyian
menambah keramaian.
Kemudian tampaklah penari
(putri) yang menghidangkan tarian. Dalam suasana pesta yang meriah itu,
kebetulan sang Subhadra, putri jelita adik sang Baladewa, berjalan-jalan
dibatas gunung itu, diiringkan oleh seribu pengawalnya, diantar juga oleh sang
Hiranya dan sang Sarana. Sang Arjuna tertarik, bernafsu melihat wajahnya. Lalu
berkata kepada sang Krsna, katanya :
Duhita Basudewasya,
Putri ini namanya Subhadra, yaitu putri maharaja Basudewa, ia cantik
jelita.
Kam iwaisa na mohayet ? siapakah yang tahan tidak mengajaknya ketempat tidur? Demikian kata sang
Arjuna. Maka jawab sang Krsna : “benar
katamu itu Arjuna. Tetapi sukar untuk memperolehnya. Namanya Subhadra, hanya dengan sayembara untuk memperistri dia. Kalau
tidak demikian ya dilarikan. Kalau ada kesatriya sakti yang dapat mengambilnya,
dan dapat menahan kesaktian keluarga Yadu, (kesatriya itu) menjadi suami sang
Subhadra, sebagai pembeli kesaktian itu. Itulah caranya dia akan bersuami !
Demikian kata sang Krsna. Sang
Arjuna gembira. Lalu minta ijin sang Krsna untuk melarikannya. Sang Subhadra diambilnya
dipangku di dalam keretanya, lalu pergi sambil berseru.
Golongan Yadu mendengar seruan
itu dan kabar diambilnya sang Subhadra oleh Arjuna itu, semua marah, semua
memegang senjata, mengenakan baju besinya, sambil memutar-mutarkan goloknya.
Ada yang naik kuda, ada yang gajah, ada pula yang naik kereta. Canangpun
dibunyikan, tentara diperintahkan menangkap sang Arjuna.
Sang Baladewa berdiri, kailacacikharo
pamah. Mukanya merah seperti
puncak gunung Kailasa, merahnya karena marahnya, bukan karena minuman keras.
Nilawasa. Pakaiannya hitam. Disambutnya senjata langgala (Nanggala = Djw).
Dilihatnya sang Krsna berdiam diri saja, tidak ikut rebut-ribut tentang
diambilnya Subhadra itu. Maka katanya :
“Hai Arya Krsna, apa sebabnya
engkau berdiam saja di atas hinaan Arjuna? Bukankah engkau sudah dipujanya dan
engkau juga saudaranya. Adikmu Subhadra engkau tawarkan. Bukankah itu hinaan,
bagaikan Arjuna memukuli kepalamu saja. Demikianlah perbuatannya”.
Demikian kata sang Baladewa.
Sang Krsna menjawab : “jangan engkau menganggap menghina kepada Arjuna. Ia
sangat berbakti kepada kita semua. Kalau demikian apa (buruknya) mengambil
adikku. Itulah perbuatannya, (karena) putri yang dibeli dengan emas dan manikam
itu tak ada bedanya dengan ternak”..
Kahkuryat purarso bhuwi ?
Siapakah orang besar yang
boleh dibeli putrinya? Itulah sebabnya diadakan sayembara oleh golongan
kesatriya. (Di sini) belum ada sayembara. Tujuan sang Arjuna melakukan pelarian
itu, untuk memperlihatkan kesaktiannya, kejarlah kalau dapat. Itulah yang saya
ketahui, tiada seorangpun dapat melawan kesaktian Arjuna. Meskipun sang
hyang Indra kiranya tak kuasa menahannya.
Engkau ini sudah mendapat kesaktian, sudah diketahui oleh seluruh dunia,
tak ada bandingnya. Saya malu kalau sampai kalah dengan Arjuna.
Lebih baik diam saja, supaya tidak cacat kesaktianmu, ambillah sikap yang
baik belaka. Sambutlah sang Arjuna,
suruhlah ia kembali !! kawinkan saja dengan sang Subhadra, supaya erat
persahabatan kami dengan Pandawa.
Demikian maksudku hanya
berdiam diri itu. “demikian kata Krsna. Sri Baladewapun menurut. Disusulnya
Arjuna disuruh kembali dan dilangsungkannya upacara perkawinan. Iapun pulang
sampai di Dwarawati, ia dikawinkan dengan upacara yang sempurna. Selama satu
tahun berada di sana, kemudian sampai waktu 12 tahun perjanjiannya ia tinggal
di hutan, maka lalu minta diri kepada keluarga Yadu, dengan diiringkan sang
Subhadra. Iapun diberi ijin. Kemudian pergi dengan berkereta. Tidak lama di dalam
perjalanan, sampai di Indraprastha. Ia menyembah kepada maharaja Yudhistira,
sesudah kepada dewi Kunthi terlebih dahulu. Sedang sang Subhadra disuruhnya
menyembah kepada sang Dropadi. Semuanya gembiralah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar