Laman

Senin, 16 November 2015

Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Ganjuran

Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Ganjuran, merupakan salah satu Gereja yang sangat unik dan kental sekali dengan budaya Jawa. Terletak di bagian selatan Yogyakarta, tepatnya di wilayah Bambanglipuro, kabupaten Bantul. Gereja ini menjadi salah satu tempat hening tak hanya bagi para umat Kristiani, namun tempat ini banyak pula dikunjungi oleh masyarakat umum.

Candi HKTY Ganjuran
Dokumentasi Pribadi



Sekelumit Sejarah Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran

Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran berdiri pada 16 April 1924, namun baru beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 20 Agustus 1924, Vicaris Apostolik Batavia Mgr. J. M Van Velsen hadir di Ganjuran untuk memberkati altar. Dibangun atas prakarsa Keluarga Schmutzer, sebuah keluarga yang memiliki pabrik gula di area yang sekarang menjadi kompleks Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran. Hal ini membuktikan bahwa Kelaurga Schmutzer tidak hanya memikirkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk ekonomi saja, namu juga perkembangan kekatolikan. Sebagai seorang Belanda yang jatuh cinta pada budaya Jawa, Schmutzer memiliki keinginan membuat sebuah gereja dengan corak Jawa. Oleh karena itu, Schmutzer meminta izin kepada Tahta Suci untuk membangun gereja dengan corak Jawa. Namun, hanya patung Altar Jawa dan patung Hati Kudus Yesus yang disetujui oleh Tahta Suci. Bangunan Gereja masih menggunakan gaya bangunan Belanda.


Ornamen gapura masuk Gereja HKTY Ganjuran
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi


Pada sekitar tahun 1912, Schmutzer bersaudara, Julius dan Yoseph Schmutzer mulai mengamalkan ajaran sosial gereja bagi kaum buruh yang tertuang dalam Rerum Novarum. Keluarga Schmutzer mulai membangun fasilitas sekolah pada sekitar tahun 1919.
Pada sekitar tahun 1920, Pastor Van Driessch mulai berkarya di tempat ini. Pada tahun 1922 terdapat 22 orang Katolik Jawa, jumlah ini terus bertambah. Pada 16 April 1924, Gereja Katolik Hati Kudus Yesus mulai dibangun dengan nuansa Jawa.
Pahatan patung dikerjakan oleh seorang seniman Jawa bernama Iko. Tiga tahun kemudian mulai didirikan candi Hati Kudus Yesus tepat di depan rumah Keluarga Schmutzer. Tinggi Candi sekitar 10 meter, dengan bangunan candi bergaya Hindu yang diilhami dari Candi Prambanan. Selain itu, Candi juga dipengaruhi budaya Jawa para patung dan ornamennya. Batu yang digunakan untuk membuat candi diambil dari lereng Gunung Merapi, sedangkan pintu masuk terletak di sebelah selatan, hal tersebut seperti apa yang dipercaya masyarakat Jawa tentang harmoni antara arah utara dan selatan, harmoni antara gunung dan laut.



Dokumentasi Pribadi




Bangunan utama gereja berbentuk Joglo, dengan hiasan ornamen bergaya Jawa, serta pahatan-pahatan. Bangunan Gereja juga dihiasi sebuah jajaran genjang di langit-langit yang disebut dengan wajikan yang dihiasi dengan pahatan kayu berbentuk nanas. Sedangkan altarnya dihiasi dengan patung Malaikat dalam versi Jawa.

Tujuan dari pembangunan candi tersebut adalah sebagai monumen atas keberhasilan pabrik gulanya (Gondanglipuro) yang lolos dari krisis keuangan yang melanda dunia saat itu. Dimana pada saat itu banyak pabrik gula yang bangkrut, namun pabrik gula Keluarga Schmutzer mampu bertahan. Selain sebagai monumen ungkapan syukur atas kejayaan pabrik gula, monumen ini juga dibuat sebagai ungkapan iman Schmutzer kepada Hati Kudus Yesus dalam bentuk kebudayaan Jawa. Peletakan batu pertama pembangunan candi Ganjuran dilakukan pada tanggal 26 Desember 1927 oleh Mgr. Van Velsen, SJ. Pada waktu itu juga dilakukan pemberkatan patung Hati Kudus kecil yang ditanam di dalam.


Patung Sampeyan Dalem Maha Prabu Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa
Dokumentasi Pribadi

Julius Schmutzer jatuh sakit dan harus mendapatkan perawatan serius, oleh karena itu pada tahun 1934 keluarga Scmutzer memutuskan untuk kembali ke Belanda, dan menetap di Arnheim. Pengelolaan pabrik gula diserahkan kepada seorang administratur yang ditunjuk oleh keluarga Schmutzer. Kepergian keluarga Schmutzer berdampak bagi para katekis awam, karena sebelumnya semua fasilitas didapat dari keluarga Schmutzer. Mereka dengan mandiri untuk terus mengajar agama di berbagai tempat. Demikian pula dengan pastur yang berkarya di Gereja Ganjuran tidak lagi mendapatkan fasilitas dari pabrik gula. Ada 3 orang pastor yang berkarya di Gereja Ganjuran sampai tahun 1934, yaitu H. van Driessch, SJ, F. Strater, SJ, dan A. Djajaseputra, SJ. Sekolah-sekolah yang dibangun oleh keluarga Schmutzer diserahkan kepada Yayasan Kanisius. Tahun 1934-1940 merupakan masa persiapan menjadi sebuah paroki yang diperjuangkan oleh pastor A. Soegijapranata, SJ dan pastor A. Elfrank, SJ, namun baru resmi menjadi sebuah paroki pada tahun 1940 dengan pastor A. Soegijapranata, SJ menjadi pastor paroki yang pertama. Seiring perkembangan umat Katolik yang pesat, bangunan Gereja tidak lagi mampu menampung umat yang semakin banyak. Pada tahun 1942, dilakukan perluasan gedung ke arah barat dengan panjang sekitar 15 meter oleh pastor Soegijapranata, SJ.



Dyah Mariyah Iboe Ganjuran
Dok. Pribadi
Pada tahun 2006, gempa dahsyat mengguncang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, dan Gereja ini mengalami kerusakan yang cukup parah, serta mengalami proses renovasi.




Bangunan bagian dalam Gereja
Kegiatan peribadatan dilakukan baik di dalam gereja, maupun di pelataran candi, dan pada beberapa perayaan masih menggunakan unsur budaya Jawa yang kental, misal dengan penggunaan Gamelan, kostum liturgi yang menggunakan unsur budaya Jawa. 
Di kompleks Gereja Katolik Hati Kudus Yesus juga terdapat panti asuhan, kompleks sekolah dan rumah sakit. Selain gereja dan sekolah, keluarga Schmutzer juga membangun Rumah Sakit di Yogyakarta, antara lain Rumah Sakit Elisabeth, serta Rumah Sakit Panti Rapih, yang dulunya bernama Onder De Bogen
Peziarah yang datang bukan hanya peziarah dari kalangan umat Nasrani saja, namun banyak umat berbeda keyakinan yang datang dan berziarah di tempat ini, karena Tuhan ada dalam diri setiap manusia. Heneng, hening, henung.

Sumber :
https://en.wikipedia.org/wiki/Ganjuran_Church
http://gerejaganjuran.org/site/profile/ganjuran
pengalaman pribadi
buku panduan doa Candi Hati Kudus Yesus ganjuran


Foto : Dokumentasi Pribadi

Rabu, 08 April 2015

Makam Imogiri (Bagian II, tamat)

       Makam Imogiri terletak di desa pajimatan, kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Makam tersebut berdiri pada ketinggian 35-100 mdpl. Letaknya yang tinggi tersebut sesuai dengan filosofi Hindu dimana tempat yang tinggi dipercaya sebagai tempat yang suci, jalan menuju swargaloka, di percaya pula bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat para Dewa bersemayam.


Dalam proses pembangunan makam, Sultan Agung menunjuk seorang adipati dari Jepara yang bernama tumenggung Tjitrokoesoemo sebagai kepala pelaksana. Pembangunan Makam tersebut dimulai pada sekitar tahun 1630.
Arsitektur makam Sultan Agung kental sekali dengan gaya bangunan yang merupakan pengaruh budaya Hindu. Memang hal tersebut bukan hal baru, karena budaya yang berkembang di Pulau Jawa pada masa itu masih dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pengaruh budaya Hindu sangat terlihat dari ornament-ornamen yang menghiasi gapura, kelir/rana/tembok pembatas, dan tembok/beteng sekeliling makam.
Untuk mencapai lokasi makam Sultan Agung yang disebut Kedhaton Kasultanagungan harus melewati jalan yang penuh dengan tangga, dan memasuki tiga gapura yang banyak mengandung unsur ragam hias flora, seperti motif sulur-suluran.
Nah, jika anda akan memasuki gapura di kompleks makam Sultan Agung, anda akan menjumpai rana/kelir sebagai sekat yang bentuknya menyerupai pagar tembok bata yang dihiasi corak-corak ragam hias geometris, serta ragam hias tumbuhan/flora. Fungsi rana/kelir itu sendiri adalah untuk menghalangi pandangan para pengunjung agar tidak melihat secara langsung bagian dalam makam. Namun, secara simbolik rana/kelir ini dipercaya sebagai penolak masuknya roh jahat.
Makam Sultan Agung sendiri dinaungi bangunan yang berbentuk joglo, beratap tumpang, dan puncaknya dihiasi ornament mahkota yang bermotif seperti lidah api. Bangunan tersebut disangga dengan tiang-tiang berhiaskan ragam hias semacam kaligrafi.
Di antara makam lain yang ada di kompleks Makam Imogiri, Kedhaton Kasultanagungan lah yang dianggap paling sakral, dan banyak dituju oleh para peziarah. Selain Sultan Agung, di kompleks Kedhaton Kasultanagungan juga dimakamkan GKR Batang, permaisuri Sultan Agung, serta Amangkurat II. Sedangkan di halaman sekeliling makam terdapat hamparan pasir yang konon berasal dari laut selatan.

Nisan Sultan Agung dihias dengan kain kelambu, serta dinyalakan lilin di sisi kanan dan kiri nisan sebagai penerangan. Hal yang menarik ketika kita masuk ke dalam bilik Makam Sultan Agung yaitu terdapat semerbak bau wangi yang konon berasal dari lantai makam. Konon bagian yang berbau harum tersebut merupakan tanah yang dilemparkan Sultan Agung dari Mekkah. Ada pula cerita yang mengatakan konon jasad Sultan Agung tidak dimakamkan tepat di bawah nisan seperti umumnya, namun dimakamkan di bawah lantai yang berbau harum tersebut.


gapura Kedhaton Kasultanagungan



Nisan Sultan Agung dijaga oleh dua orang juru kunci, yaitu juru kunci dari Kasultanan Yogyakarta, dan Kasunanan Surakarta.
Dinasti Mataram Islam mengalami perpecahan semenjak adanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, kompleks makam Imogiri juga mengalami perubahan menjadi Kedhaton Kasultanagungan berada di puncak bukit, Kedhaton Hamengkubuwanan di sisi sebelah timur sebagai kompleks makam raja-raja dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kedhaton Pakubuwanan terletak di sisi barat sebagai makam raja-raja Kasunanan Surakarta.

kompleks Makam PB X

Untuk mencapai Makam Imogiri, pengunjung harus menaiki jajaran anak tangga yang menjulang tinggi. Pengunjung akan menaiki sekitar 399 buah anak tangga yang dihitung dari pelataran masjid yang terletak di bagian bawah makam, hingga Halaman Supit Urang. Hitungan tangga akan berbeda-beda pada masing-masing individu. Sebelum mencapai Kedhaton Kasultanagungan pengunjung akan menemukan persimpangan tiga. Dari persimpangan tiga tersebut, jika pengunjung ingin menuju ke Kompleks Makam Raja-raja Kasunanan Surakarta, pengunjung tinggal berjalan kea rah barat, sedangkan jika ingin menuju ke Kompleks Makam Raja-raja Kasultanan Yogyakarta, kearah timur.

Hal unik yang kita temukan di kompleks Kedhaton Kasultanagungan adalah ketika telah sampai di Halaman Supit Urang, pengunjung harus menginjak tangga yang bentuknya berbeda dari tangga yang lain. Konon, bagian tangga tersebut merupakan salah satu bagian dari kubur Tumenggung Endranata yang mengkhianati Mataram Islam, namun ada pula yang mengatakan bahwa tangga tersebut merupakan kubur JP. Coen.

Tata Cara Berziarah
Pada zaman sekarang, Imogiri telah berkembang menjadi salah satu obyek wisata ziarah. Masyarakat luas sudah diperbolehkan mengunjungi makam, dan berziarah. Namun terdapat tata cara dan peraturan ziarah tetap berlaku, karena bagaimanapun juga makam Imogiri masih dianggap keramat oleh masyarakat Jawa.


      Tata cara ziarah pun sudah ditentukan sejak masa Sultan Agung, dan hingga sekarang masih mengikuti aturan/pakem yang berlaku. Bagi kaum pria dewasa, harus mengenakan surjan, kain batik (selain motif parang), serta blangkon. Sedangkan untuk kaum perempuan dewasa, wajib mengenakan kain dengan kemben tanpa kebaya, rambut disanggul tekuk, atau diurai (bila rambutnya pendek). Ketika berziarah ke Makam Imogiri tidak diperkenankan memakai perhiasan (untuk rakyat biasa), sementara putri raja diperkenankan memakai kebaya. Sedangkan untuk anak perempuan, kostum yang digunakan sama dengan kostum perempuan dewasa, hanya saja kain yang dikenakan dibuat dengan model sabuk wala


    Sebaiknya apabila berziarah ke Makam Imogiri pada hari Senin atau Jum’at, karena semua Kedhaton dibuka.


jadwal buka Makam

Sumber :
Pengalaman Pribadi
Cerita Simbah-simbah dekat Imogiri
google

Sumber foto :
dokumentasi pribadi

Jumat, 27 Maret 2015

Makam Imogiri (Bagian I)

Makam Imogiri, merupakan makam bagi Raja-raja dari Kerajaan Mataram Islam (Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta), beserta keluarga. Kompleks pemakaman ini terletak di Yogyakarta bagian selatan, tepatnya di dusun Pajimatan, Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul. Kompleks makam ini di anggap suci bagi masyarakat Jawa.

Makam Imogiri merupakan salah satu karya besar Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar dinasti Mataram Islam. Imogiri berasal dari kata bahasa Jawa Kuna yang terdiri dari kata ima/hima (kabut), dan giri (gunung). Kompleks pemakaman ini terletak di area pegunungan yang bernama pegunungan merak, konon menurut kepercayaan tempat yang tinggi lebih dekat dengan Sang Pencipta, serta arwah para nenek moyang.

Pada masa hidupnya, Sultan Agung memang memiliki perhatian yang besar terhadap kehidupan spiritual. Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung terkenal sebagai “Sang Penakluk,” julukan tersebut terkait dengan kehebatannya menaklukkan berbagai wilayah kerajaan hingga wilayah Mataram menjadi sangat luas. Dalam proses invasinya ke berbagai wilayah, tercatat bahwa Sultan Agung pernah mengalami kegagalan ketika menyerang VOC di Batavia.

 Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian besar prajuritnya tewas secara mengenaskan, mayat para prajurit yang bergelimpangan menyebabkan hati Sultan Agung sedih. Sebagai raja, Sultan Agung ingin jasadnya dikebumikan secara layak dan dihormati oleh rakyat Mataram beserta para keturunannya. Sultan Agung pernah memiliki niat dimakamkan di Mekkah, namun keinginannya ditolak oleh seorang imam di Mekkah, yaitu Imam Supingi. Konon dalam diri Sultan Agung melekat mitos yang menggambarkan dirinya sebagai setengah jin, setengah manusia. Konon ada seorang wali yang menyarankan akan lebih baik jika kelak jasadnya kelak beristirahat tidak jauh dari rakyat Mataram.

Sultan Agung melakukan laku spiritual untuk mewujudkan pembangunan makam. Melalui berbagai ‘lelaku,’ akhirnya ditentukan lokasi tanah makam di daerah dataran tinggi Girilaya. Lokasi tersebut dianggap sangat cocok dijadikan pemakaman. Letak tempat yang tinggi pada kebudayaan lampau dipercaya sebagai tempat yang sakral.

Pada waktu proses pembangunan makam berlangsung, Sultan Agung pergi untuk memimpin pasukan Mataram ke Jawa Timur. Kisah pembangunan makam pun berlanjut, ketika salah seorang paman Sultan Agung yang bernama Gusti Pangeran Juminah tertarik dengan pembangunan makam tersebut. Sebagai salah satu kerabat raja, ia merasa kelak patut dikebumikan di kompleks makam yang sedang dibangun tersebut. Maka, setelah Sultan Agung kembali ke istana, tanpa pikir panjang ia mengutarakan keinginannya tersebut.

Sultan Agung tidak berkenan dengan maksud yang diutarakan pamannya, dan merasa kesal, serta terlangkahi. Dengan suara lantang Sultan Agung mempersilahkan tanah makam yang sedang dibangun makam bagi pamannya. Perkataan Sultan Agung tersebut bagaikan sebuah kata-kata bertuah, tidak lama kemudian sang paman pun wafat dan dimakamkan di Makam Girilaya. Peristiwa tersebut membuat Sultan Agung mencari tempat baru untuk peristirahatan terakhirnya. Untuk mencapai keinginan tersebut Sultan Agung mulai menjalankan ‘lelaku’ spiritual.

                Pada suatu hari, Sultan Agung memanggil abdinya yang bernama Kyai Singaranu untuk menemani dan membawakan panah baginya. Setibanya di sebuah tempat Sultan Agung membidikkan panahnya untuk menentukan lokasi tanah yang akan dibangun sebagai  tempat pemakaman, dan anak panah pun melesat kearah selatan, kemudian jatuh tepat di puncak pegunungan Merak, barat daya Girilaya. Di sinilah makam imogiri akhirnya dibangun.


(bersambung)