Laman

Jumat, 27 Maret 2015

Makam Imogiri (Bagian I)

Makam Imogiri, merupakan makam bagi Raja-raja dari Kerajaan Mataram Islam (Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta), beserta keluarga. Kompleks pemakaman ini terletak di Yogyakarta bagian selatan, tepatnya di dusun Pajimatan, Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul. Kompleks makam ini di anggap suci bagi masyarakat Jawa.

Makam Imogiri merupakan salah satu karya besar Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar dinasti Mataram Islam. Imogiri berasal dari kata bahasa Jawa Kuna yang terdiri dari kata ima/hima (kabut), dan giri (gunung). Kompleks pemakaman ini terletak di area pegunungan yang bernama pegunungan merak, konon menurut kepercayaan tempat yang tinggi lebih dekat dengan Sang Pencipta, serta arwah para nenek moyang.

Pada masa hidupnya, Sultan Agung memang memiliki perhatian yang besar terhadap kehidupan spiritual. Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung terkenal sebagai “Sang Penakluk,” julukan tersebut terkait dengan kehebatannya menaklukkan berbagai wilayah kerajaan hingga wilayah Mataram menjadi sangat luas. Dalam proses invasinya ke berbagai wilayah, tercatat bahwa Sultan Agung pernah mengalami kegagalan ketika menyerang VOC di Batavia.

 Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian besar prajuritnya tewas secara mengenaskan, mayat para prajurit yang bergelimpangan menyebabkan hati Sultan Agung sedih. Sebagai raja, Sultan Agung ingin jasadnya dikebumikan secara layak dan dihormati oleh rakyat Mataram beserta para keturunannya. Sultan Agung pernah memiliki niat dimakamkan di Mekkah, namun keinginannya ditolak oleh seorang imam di Mekkah, yaitu Imam Supingi. Konon dalam diri Sultan Agung melekat mitos yang menggambarkan dirinya sebagai setengah jin, setengah manusia. Konon ada seorang wali yang menyarankan akan lebih baik jika kelak jasadnya kelak beristirahat tidak jauh dari rakyat Mataram.

Sultan Agung melakukan laku spiritual untuk mewujudkan pembangunan makam. Melalui berbagai ‘lelaku,’ akhirnya ditentukan lokasi tanah makam di daerah dataran tinggi Girilaya. Lokasi tersebut dianggap sangat cocok dijadikan pemakaman. Letak tempat yang tinggi pada kebudayaan lampau dipercaya sebagai tempat yang sakral.

Pada waktu proses pembangunan makam berlangsung, Sultan Agung pergi untuk memimpin pasukan Mataram ke Jawa Timur. Kisah pembangunan makam pun berlanjut, ketika salah seorang paman Sultan Agung yang bernama Gusti Pangeran Juminah tertarik dengan pembangunan makam tersebut. Sebagai salah satu kerabat raja, ia merasa kelak patut dikebumikan di kompleks makam yang sedang dibangun tersebut. Maka, setelah Sultan Agung kembali ke istana, tanpa pikir panjang ia mengutarakan keinginannya tersebut.

Sultan Agung tidak berkenan dengan maksud yang diutarakan pamannya, dan merasa kesal, serta terlangkahi. Dengan suara lantang Sultan Agung mempersilahkan tanah makam yang sedang dibangun makam bagi pamannya. Perkataan Sultan Agung tersebut bagaikan sebuah kata-kata bertuah, tidak lama kemudian sang paman pun wafat dan dimakamkan di Makam Girilaya. Peristiwa tersebut membuat Sultan Agung mencari tempat baru untuk peristirahatan terakhirnya. Untuk mencapai keinginan tersebut Sultan Agung mulai menjalankan ‘lelaku’ spiritual.

                Pada suatu hari, Sultan Agung memanggil abdinya yang bernama Kyai Singaranu untuk menemani dan membawakan panah baginya. Setibanya di sebuah tempat Sultan Agung membidikkan panahnya untuk menentukan lokasi tanah yang akan dibangun sebagai  tempat pemakaman, dan anak panah pun melesat kearah selatan, kemudian jatuh tepat di puncak pegunungan Merak, barat daya Girilaya. Di sinilah makam imogiri akhirnya dibangun.


(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar