Disebarluaskan
oleh Ibnu Fadllillah sebagaimana dipaparkan dalam kitabnya yang berjudul At –
Tuhfatu l – Mursalah ilâ Rûhi n – nabî. Ajaran ini sebenarnya mendapat inspirasi dari ide tokoh besar
Wahdatul – Wujûd
yaitu Ibnu Arabi. Dasar dari konsep itu berangkat dari konsep tajallî
(penampakan) Tuhan melalui tingkatan atau martabat.
1.
Ahadiyyah, yaitu martabat lâ ta’yun dan ithlaq. Allah dalam tingkatan pertama ini wujudnya masih
tersembunyi. Tidak dikenali hakikatnya, karena keadaannya masih sunyi dari
segala sifat, sandaran dan hubungan dengan lainnya. Ahadiyyah adalah martabat
tertinggi, karena itu Allah masih merupakan Zat mutlak, atau Dzat Yang Maha
Gaib, maka kedudukannya masih diselimuti msteri yang tak dapat dijangkau oleh pengetahuan
apapun juga.
2.
Wahdah, merupakan awal dari
realitas. Dalam martabat ini semua hal dalam kondisi garis besar. Belum ada
pemilahan dan pembedaan, sehingga semuanya merupakan kesatuan yang mengandung
kejamakan.
3.
Wahidiyyah atau tahap
individuasi kedua. Pada martabat in setiap bagian – bagian sudah ada pemisahan
dengan batas tertentu. Semua “ide” sudah ditetapkan dalam pengetahuan Allah.
Perlu dijelaskan, bahwa dalam setiap martabat di atas kesemuanya merupakan
pewujudan batin yang bersifat tetap dalam ilmu Allah. Selanjutnya dari ketiga
martabat itu muncul martabat lahir yang bersifat baru. Ia disebut a’ dalam
setiap martabat di atas kesemuanya merupakan pewujudan batin yang bersifat
tetap dalam ilmu Allah. Selanjutnya dari ketiga martabat itu muncul martabat
lahir yang bersifat baru. Ia disebut a’yân khârijiyyah (wujud luar atau wujud lahir) yang mengalir dari hakikat –
hakikat yang tetap (a’yân tsâbitah ). Rinciannya masuk ke dalam martabat keempat dan seterusnya.
4.
Martabat Alam Arwah yang
mewujudkan dirinya dalam alam roh, yaitu berupa badan halus (jism lathîf). Sebagai badan halus alam arwah tidak dapat diketahui oleh
pancaindera, mata-kepala dan perasaan serta tidak dapat diserupakan.
5.
Martabat Alam Mitsal dalam martabat ini keadaan masih merupakan susunan
yang bersifat halus, tidak dapat disaksikan dengan pancaindra dan belum dapat
dipisahkan.
6.
Martabat Alam Ajsam (tubuh),
keadaannya sudah tersusun secara material sehingga dapat dibagi – bagi. Jadi
sudah dapat diukur tebal tipisnya. Dalam martabat keenam ini Allah bertajallî pada realitas – realitas asma dan sifat – sifat – Nya dalam wujud
yang actual yaitu alam semesta.
7. Insan
Kamil, merupakan perwujudan dari kumpulan kesatuan martabat batin maupun lahir.
Dengan asumsi ini maka manusia diberi label sebagai mikrokosmos, sedangkan
jagad raya adalah makrokosmos.
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar