Makam Imogiri terletak
di desa pajimatan, kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Makam tersebut berdiri
pada ketinggian 35-100 mdpl. Letaknya yang tinggi tersebut sesuai dengan
filosofi Hindu dimana tempat yang tinggi dipercaya sebagai tempat yang suci,
jalan menuju swargaloka, di percaya pula bahwa tempat yang tinggi merupakan
tempat para Dewa bersemayam.
Dalam
proses pembangunan makam, Sultan Agung menunjuk seorang adipati dari Jepara
yang bernama tumenggung Tjitrokoesoemo sebagai kepala pelaksana. Pembangunan Makam
tersebut dimulai pada sekitar tahun 1630.
Arsitektur
makam Sultan Agung kental sekali dengan gaya bangunan yang merupakan pengaruh
budaya Hindu. Memang hal tersebut bukan hal baru, karena budaya yang berkembang
di Pulau Jawa pada masa itu masih dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pengaruh budaya
Hindu sangat terlihat dari ornament-ornamen yang menghiasi gapura,
kelir/rana/tembok pembatas, dan tembok/beteng sekeliling makam.
Untuk
mencapai lokasi makam Sultan Agung yang disebut Kedhaton Kasultanagungan harus melewati jalan yang penuh dengan
tangga, dan memasuki tiga gapura yang banyak mengandung unsur ragam hias flora,
seperti motif sulur-suluran.
Nah,
jika anda akan memasuki gapura di kompleks makam Sultan Agung, anda akan
menjumpai rana/kelir sebagai sekat yang bentuknya menyerupai pagar tembok bata
yang dihiasi corak-corak ragam hias geometris, serta ragam hias tumbuhan/flora.
Fungsi rana/kelir itu sendiri adalah untuk menghalangi pandangan para
pengunjung agar tidak melihat secara langsung bagian dalam makam. Namun, secara
simbolik rana/kelir ini dipercaya sebagai penolak masuknya roh jahat.
Makam
Sultan Agung sendiri dinaungi bangunan yang berbentuk joglo, beratap tumpang,
dan puncaknya dihiasi ornament mahkota yang bermotif seperti lidah api. Bangunan
tersebut disangga dengan tiang-tiang berhiaskan ragam hias semacam kaligrafi.
Di antara
makam lain yang ada di kompleks Makam Imogiri, Kedhaton Kasultanagungan lah yang dianggap paling sakral, dan
banyak dituju oleh para peziarah. Selain Sultan Agung, di kompleks Kedhaton Kasultanagungan juga dimakamkan
GKR Batang, permaisuri Sultan Agung, serta Amangkurat II. Sedangkan di halaman
sekeliling makam terdapat hamparan pasir yang konon berasal dari laut selatan.
Nisan
Sultan Agung dihias dengan kain kelambu, serta dinyalakan lilin di sisi kanan
dan kiri nisan sebagai penerangan. Hal yang menarik ketika kita masuk ke dalam
bilik Makam Sultan Agung yaitu terdapat semerbak bau wangi yang konon berasal
dari lantai makam. Konon bagian yang berbau harum tersebut merupakan tanah yang
dilemparkan Sultan Agung dari Mekkah. Ada pula cerita yang mengatakan konon jasad
Sultan Agung tidak dimakamkan tepat di bawah nisan seperti umumnya, namun
dimakamkan di bawah lantai yang berbau harum tersebut.
![]() |
gapura Kedhaton Kasultanagungan |
Nisan
Sultan Agung dijaga oleh dua orang juru kunci, yaitu juru kunci dari Kasultanan
Yogyakarta, dan Kasunanan Surakarta.
Dinasti
Mataram Islam mengalami perpecahan semenjak adanya Perjanjian Giyanti pada
tahun 1755, menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, kompleks makam Imogiri juga
mengalami perubahan menjadi Kedhaton
Kasultanagungan berada di puncak bukit, Kedhaton
Hamengkubuwanan di sisi sebelah timur sebagai kompleks makam raja-raja dari
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kedhaton
Pakubuwanan terletak di sisi barat sebagai makam raja-raja Kasunanan
Surakarta.
![]() |
kompleks Makam PB X |
Untuk
mencapai Makam Imogiri, pengunjung harus menaiki jajaran anak tangga yang
menjulang tinggi. Pengunjung akan menaiki sekitar 399 buah anak tangga yang
dihitung dari pelataran masjid yang terletak di bagian bawah makam, hingga Halaman Supit Urang. Hitungan tangga
akan berbeda-beda pada masing-masing individu. Sebelum mencapai Kedhaton Kasultanagungan pengunjung akan
menemukan persimpangan tiga. Dari persimpangan tiga tersebut, jika pengunjung
ingin menuju ke Kompleks Makam Raja-raja Kasunanan Surakarta, pengunjung
tinggal berjalan kea rah barat, sedangkan jika ingin menuju ke Kompleks Makam
Raja-raja Kasultanan Yogyakarta, kearah timur.
Hal unik
yang kita temukan di kompleks Kedhaton
Kasultanagungan adalah ketika telah sampai di Halaman Supit Urang,
pengunjung harus menginjak tangga yang bentuknya berbeda dari tangga yang lain.
Konon, bagian tangga tersebut merupakan salah satu bagian dari kubur Tumenggung
Endranata yang mengkhianati Mataram Islam, namun ada pula yang mengatakan bahwa
tangga tersebut merupakan kubur JP. Coen.
Tata Cara Berziarah
Pada
zaman sekarang, Imogiri telah berkembang menjadi salah satu obyek wisata
ziarah. Masyarakat luas sudah diperbolehkan mengunjungi makam, dan berziarah. Namun
terdapat tata cara dan peraturan ziarah tetap berlaku, karena bagaimanapun juga
makam Imogiri masih dianggap keramat oleh masyarakat Jawa.
Tata
cara ziarah pun sudah ditentukan sejak masa Sultan Agung, dan hingga sekarang
masih mengikuti aturan/pakem yang
berlaku. Bagi kaum pria dewasa, harus mengenakan surjan, kain batik (selain motif
parang), serta blangkon. Sedangkan untuk kaum perempuan dewasa, wajib mengenakan
kain dengan kemben tanpa kebaya, rambut disanggul tekuk, atau diurai (bila
rambutnya pendek). Ketika berziarah ke Makam Imogiri tidak diperkenankan
memakai perhiasan (untuk rakyat biasa), sementara putri raja diperkenankan
memakai kebaya. Sedangkan untuk anak perempuan, kostum yang digunakan sama
dengan kostum perempuan dewasa, hanya saja kain yang dikenakan dibuat dengan
model sabuk wala.
Sebaiknya apabila
berziarah ke Makam Imogiri pada hari Senin atau Jum’at, karena semua Kedhaton dibuka.
![]() |
jadwal buka Makam |
Sumber :
Pengalaman Pribadi
Cerita Simbah-simbah dekat Imogiri
google
Sumber foto :
dokumentasi pribadi
Pengalaman Pribadi
Cerita Simbah-simbah dekat Imogiri
Sumber foto :
dokumentasi pribadi