Laman

Rabu, 08 April 2015

Makam Imogiri (Bagian II, tamat)

       Makam Imogiri terletak di desa pajimatan, kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Makam tersebut berdiri pada ketinggian 35-100 mdpl. Letaknya yang tinggi tersebut sesuai dengan filosofi Hindu dimana tempat yang tinggi dipercaya sebagai tempat yang suci, jalan menuju swargaloka, di percaya pula bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat para Dewa bersemayam.


Dalam proses pembangunan makam, Sultan Agung menunjuk seorang adipati dari Jepara yang bernama tumenggung Tjitrokoesoemo sebagai kepala pelaksana. Pembangunan Makam tersebut dimulai pada sekitar tahun 1630.
Arsitektur makam Sultan Agung kental sekali dengan gaya bangunan yang merupakan pengaruh budaya Hindu. Memang hal tersebut bukan hal baru, karena budaya yang berkembang di Pulau Jawa pada masa itu masih dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pengaruh budaya Hindu sangat terlihat dari ornament-ornamen yang menghiasi gapura, kelir/rana/tembok pembatas, dan tembok/beteng sekeliling makam.
Untuk mencapai lokasi makam Sultan Agung yang disebut Kedhaton Kasultanagungan harus melewati jalan yang penuh dengan tangga, dan memasuki tiga gapura yang banyak mengandung unsur ragam hias flora, seperti motif sulur-suluran.
Nah, jika anda akan memasuki gapura di kompleks makam Sultan Agung, anda akan menjumpai rana/kelir sebagai sekat yang bentuknya menyerupai pagar tembok bata yang dihiasi corak-corak ragam hias geometris, serta ragam hias tumbuhan/flora. Fungsi rana/kelir itu sendiri adalah untuk menghalangi pandangan para pengunjung agar tidak melihat secara langsung bagian dalam makam. Namun, secara simbolik rana/kelir ini dipercaya sebagai penolak masuknya roh jahat.
Makam Sultan Agung sendiri dinaungi bangunan yang berbentuk joglo, beratap tumpang, dan puncaknya dihiasi ornament mahkota yang bermotif seperti lidah api. Bangunan tersebut disangga dengan tiang-tiang berhiaskan ragam hias semacam kaligrafi.
Di antara makam lain yang ada di kompleks Makam Imogiri, Kedhaton Kasultanagungan lah yang dianggap paling sakral, dan banyak dituju oleh para peziarah. Selain Sultan Agung, di kompleks Kedhaton Kasultanagungan juga dimakamkan GKR Batang, permaisuri Sultan Agung, serta Amangkurat II. Sedangkan di halaman sekeliling makam terdapat hamparan pasir yang konon berasal dari laut selatan.

Nisan Sultan Agung dihias dengan kain kelambu, serta dinyalakan lilin di sisi kanan dan kiri nisan sebagai penerangan. Hal yang menarik ketika kita masuk ke dalam bilik Makam Sultan Agung yaitu terdapat semerbak bau wangi yang konon berasal dari lantai makam. Konon bagian yang berbau harum tersebut merupakan tanah yang dilemparkan Sultan Agung dari Mekkah. Ada pula cerita yang mengatakan konon jasad Sultan Agung tidak dimakamkan tepat di bawah nisan seperti umumnya, namun dimakamkan di bawah lantai yang berbau harum tersebut.


gapura Kedhaton Kasultanagungan



Nisan Sultan Agung dijaga oleh dua orang juru kunci, yaitu juru kunci dari Kasultanan Yogyakarta, dan Kasunanan Surakarta.
Dinasti Mataram Islam mengalami perpecahan semenjak adanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, kompleks makam Imogiri juga mengalami perubahan menjadi Kedhaton Kasultanagungan berada di puncak bukit, Kedhaton Hamengkubuwanan di sisi sebelah timur sebagai kompleks makam raja-raja dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kedhaton Pakubuwanan terletak di sisi barat sebagai makam raja-raja Kasunanan Surakarta.

kompleks Makam PB X

Untuk mencapai Makam Imogiri, pengunjung harus menaiki jajaran anak tangga yang menjulang tinggi. Pengunjung akan menaiki sekitar 399 buah anak tangga yang dihitung dari pelataran masjid yang terletak di bagian bawah makam, hingga Halaman Supit Urang. Hitungan tangga akan berbeda-beda pada masing-masing individu. Sebelum mencapai Kedhaton Kasultanagungan pengunjung akan menemukan persimpangan tiga. Dari persimpangan tiga tersebut, jika pengunjung ingin menuju ke Kompleks Makam Raja-raja Kasunanan Surakarta, pengunjung tinggal berjalan kea rah barat, sedangkan jika ingin menuju ke Kompleks Makam Raja-raja Kasultanan Yogyakarta, kearah timur.

Hal unik yang kita temukan di kompleks Kedhaton Kasultanagungan adalah ketika telah sampai di Halaman Supit Urang, pengunjung harus menginjak tangga yang bentuknya berbeda dari tangga yang lain. Konon, bagian tangga tersebut merupakan salah satu bagian dari kubur Tumenggung Endranata yang mengkhianati Mataram Islam, namun ada pula yang mengatakan bahwa tangga tersebut merupakan kubur JP. Coen.

Tata Cara Berziarah
Pada zaman sekarang, Imogiri telah berkembang menjadi salah satu obyek wisata ziarah. Masyarakat luas sudah diperbolehkan mengunjungi makam, dan berziarah. Namun terdapat tata cara dan peraturan ziarah tetap berlaku, karena bagaimanapun juga makam Imogiri masih dianggap keramat oleh masyarakat Jawa.


      Tata cara ziarah pun sudah ditentukan sejak masa Sultan Agung, dan hingga sekarang masih mengikuti aturan/pakem yang berlaku. Bagi kaum pria dewasa, harus mengenakan surjan, kain batik (selain motif parang), serta blangkon. Sedangkan untuk kaum perempuan dewasa, wajib mengenakan kain dengan kemben tanpa kebaya, rambut disanggul tekuk, atau diurai (bila rambutnya pendek). Ketika berziarah ke Makam Imogiri tidak diperkenankan memakai perhiasan (untuk rakyat biasa), sementara putri raja diperkenankan memakai kebaya. Sedangkan untuk anak perempuan, kostum yang digunakan sama dengan kostum perempuan dewasa, hanya saja kain yang dikenakan dibuat dengan model sabuk wala


    Sebaiknya apabila berziarah ke Makam Imogiri pada hari Senin atau Jum’at, karena semua Kedhaton dibuka.


jadwal buka Makam

Sumber :
Pengalaman Pribadi
Cerita Simbah-simbah dekat Imogiri
google

Sumber foto :
dokumentasi pribadi