Makam Imogiri,
merupakan makam bagi Raja-raja dari Kerajaan Mataram Islam (Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Ngayogyakarta), beserta keluarga. Kompleks pemakaman ini
terletak di Yogyakarta bagian selatan, tepatnya di dusun Pajimatan, Girirejo,
Kecamatan Imogiri, Bantul. Kompleks makam ini di anggap suci bagi masyarakat
Jawa.
Makam Imogiri
merupakan salah satu karya besar Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar
dinasti Mataram Islam. Imogiri berasal dari kata bahasa Jawa Kuna yang terdiri
dari kata ima/hima (kabut), dan giri (gunung). Kompleks pemakaman ini terletak
di area pegunungan yang bernama pegunungan merak, konon menurut kepercayaan tempat yang
tinggi lebih dekat dengan Sang Pencipta, serta arwah para nenek moyang.
Pada masa
hidupnya, Sultan Agung memang memiliki perhatian yang besar terhadap kehidupan
spiritual. Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung terkenal sebagai “Sang
Penakluk,” julukan tersebut terkait dengan kehebatannya menaklukkan berbagai
wilayah kerajaan hingga wilayah Mataram menjadi sangat luas. Dalam proses
invasinya ke berbagai wilayah, tercatat bahwa Sultan Agung pernah mengalami
kegagalan ketika menyerang VOC di Batavia.
Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian besar
prajuritnya tewas secara mengenaskan, mayat para prajurit yang bergelimpangan
menyebabkan hati Sultan Agung sedih. Sebagai raja, Sultan Agung ingin jasadnya dikebumikan
secara layak dan dihormati oleh rakyat Mataram beserta para keturunannya. Sultan
Agung pernah memiliki niat dimakamkan di Mekkah, namun keinginannya ditolak
oleh seorang imam di Mekkah, yaitu Imam Supingi. Konon dalam diri Sultan Agung
melekat mitos yang menggambarkan dirinya sebagai setengah jin, setengah
manusia. Konon ada seorang wali yang menyarankan akan lebih baik jika kelak
jasadnya kelak beristirahat tidak jauh dari rakyat Mataram.
Sultan Agung
melakukan laku spiritual untuk mewujudkan pembangunan makam. Melalui berbagai ‘lelaku,’
akhirnya ditentukan lokasi tanah makam di daerah dataran tinggi Girilaya.
Lokasi tersebut dianggap sangat cocok dijadikan pemakaman. Letak tempat yang tinggi
pada kebudayaan lampau dipercaya sebagai tempat yang sakral.
Pada waktu
proses pembangunan makam berlangsung, Sultan Agung pergi untuk memimpin pasukan
Mataram ke Jawa Timur. Kisah pembangunan makam pun berlanjut, ketika salah
seorang paman Sultan Agung yang bernama Gusti Pangeran Juminah tertarik dengan
pembangunan makam tersebut. Sebagai salah satu kerabat raja, ia merasa kelak
patut dikebumikan di kompleks makam yang sedang dibangun tersebut. Maka,
setelah Sultan Agung kembali ke istana, tanpa pikir panjang ia mengutarakan
keinginannya tersebut.
Sultan Agung
tidak berkenan dengan maksud yang diutarakan pamannya, dan merasa kesal, serta
terlangkahi. Dengan suara lantang Sultan Agung mempersilahkan tanah makam yang
sedang dibangun makam bagi pamannya. Perkataan Sultan Agung tersebut bagaikan
sebuah kata-kata bertuah, tidak lama kemudian sang paman pun wafat dan
dimakamkan di Makam Girilaya. Peristiwa tersebut membuat Sultan Agung mencari
tempat baru untuk peristirahatan terakhirnya. Untuk mencapai keinginan tersebut
Sultan Agung mulai menjalankan ‘lelaku’ spiritual.
Pada
suatu hari, Sultan Agung memanggil abdinya yang bernama Kyai Singaranu untuk
menemani dan membawakan panah baginya. Setibanya di sebuah tempat Sultan Agung
membidikkan panahnya untuk menentukan lokasi tanah yang akan dibangun sebagai tempat pemakaman, dan anak panah pun melesat kearah
selatan, kemudian jatuh tepat di puncak pegunungan Merak, barat daya Girilaya. Di
sinilah makam imogiri akhirnya dibangun.
(bersambung)